10| Hurts

377 26 3
                                    

Jangan selalu menyakiti perasaan orang yang berniat menyakiti lo saja dia tidak bisa.
_____

"Setelah beberapa bulan menikah dengan Reni, apakah ada perubahan yang lo rasakan?"

Bian yang tadinya fokus dengan ponselnya, kini menatap Rio lekat. "Nggak ada perubahan. Yang ada, gue muak. Dia bikin gue emosi tiap hari." Dengusnya, karena teman-temannya tak henti-hentinya menanyakan hal tersebut.

"Lo nya aja yang emosian. Cewek sebaik Reni mana mungkin kayak gitu." Celetuk Alam.

"Lo mana tau dia di rumah kayak gimana, lelet, kadang telmi, kudet pokoknya jauh banget dengan Nanda."

Alam menatap Bian, seolah menatap tak suka dengan pernyataan Bian. "Tapi ada 2 hal yang gak ada di Nanda namun ada di Reni." Ujar Alam tak mau kalah.

Bian menaikkan alisnya seolah mengatakan, Apa?

"Pintar dan jago masak."

"Kayaknya, lo yang lebih tau banyak tentang dia."

"Iyalah, gue selalu mengapresiasi sesuatu yang dilakukan seseorang. Gue gak pernah mengecewakan apapun yang telah orang usahakan."

Suasana semakin panas antara perdebatan Bian dan juga Alam. Rio yang memulai, namun Ia juga yang sekarang malah jadi penyimak keduanya.

"Udah-udah! Daripada kalian debat, lebih baik kalian bantu Reni tuh, kasihan dia bawa buku banyak banget." Rio menunjuk ke arah Reni.

Ketiganya berjalan menghampiri Reni yang kini tengah kewalahan membawa sekumpulan buku. Rio dan Alam berusaha membantu Reni, sedangkan Bian kini tengah bertepuk tangan dengan keras.

Tap! Tap! Tap!

Suara tepuk tangan Bian yang begitu keras, membuat semua pasang mata yang ada di sana menatap ke arahnya. Bahkan Rio, Alam dan Reni pun kini menatapnya bingung.

"Wahh semua, lihatlah cewek introvert ini! Keliatannya aja lugu, tapi dalamnya begitu licik." Ujar Bian membuat semua orang disana berbisik kecuali Alam, Rio dan Reni yang kaget melihatnya.

"Bahkan sekarang dia caper ke teman-teman gue."

"BIAN!!" Teriak Alam, yang ingin maju namun Reni menarik pergelangan tangannya, takut ada pertengkaran.

"Kalian liat sendiri kan? Tak perlu di jelaskan juga kalian semua pasti bisa memahaminya."

Mendengar itu, Reni melepas tarikan tangannya dari tangan Alam.

"Dengan alasan membawa buku, Ia cuman ingin caper ke teman-teman gue. Miris yah hidup cewek ini."

Reni tak kuasa menahan air matanya lagi. Ia berlari meninggalkan semua orang yang kini menatapnya dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Kenapa Bian mempermalukannya seperti ini? Apa karena masalah beberapa hari yang lalu dengan Mama? Tapi kenapa harus menghina di depan orang banyak seperti ini.

"Bian kok gitu ya? Gak bisa jaga sopan santun banget." Ujar seseorang. Reni yang tak sengaja melewatinya kini berhenti untuk mendengarkan.

"Iya. Dia gak tau apa, kalo dia juga sama. Emosian, kurang ajar, gak ada sopan santun. Hanya karena dia anak pemilik sekolah, dia di angkat jadi ketua osis gak sportif banget."

Reni menghapus air matanya. Ia geram mendengar orang-orang ini telah menghina suaminya. "Tau apa kalian tentang Bian?" Gertak Reni.

Kedua siswi tersebut kaget, pasalnya baru kali ini mereka mendengar Reni seperti itu.

"Sedalam apa kalian tau sikap Bian? Sejauh apa kalian tau tentang kehidupan Bian? Hah? Jawab!"

Seperti kata pepatah, Jangan bangunkan singa yang tidur. Seperti itulah Reni, bukan karena selama ini dia diam bukan berarti dia gak bisa marah, apalagi jika hal itu menyangkut keluarganya.

Alam dan Rio yang sebelumnya menarik Bian untuk meminta maaf ke Reni, malah mendapat pemandangan amarah Reni. Bahkan, Bian sendiri kaget, baru kali ini Ia melihat istrinya semarah itu hanya karena orang-orang menghina dirinya.

"Jangan menilai orang hanya karena satu kesalahan dan melupakan beribu kebaikannya! Don't judge book by the cover!"

Kedua siswi tersebut terdiam dan bingung. Padahal secara tidak langsung, keduanya membela Reni. Tapi kenapa Reni begitu marah? Ada apa dengannya.

"Kalo kalian lupa, kita juga sama-sama manusia biasa. Kita semua pasti punya kekurangan masing-masing. Sekarang saya tanya, apa kalian berdua tidak punya kekurangan? Apa kalian berdua tidak punya aib? Kenapa diam? Ayo Jawab!!" Amarah Reni kian memuncak. Membuat dua siswi tersebut ketakutan dan memilih pergi.

"Bisanya ngomongin orang tanpa mau bercermin."

Air matanya kini bercucuran. Sesekali Reni mengusap air matanya, lalu duduk di kursi yang ada di sana. Kenapa Ia begitu marah hanya karena orang-orang menghina Bian? Kenapa hatinya begitu sakit, mendengar orang-orang membicarakan keburukan tentang suaminya? Sedangkan yang dilakukan Bian, berbanding terbalik dengan yang Ia lakukan.

"Kenapa lo lakuin ini semua?" Tanya Bian pelan, yang disaksikan dengan Alam dan Rio.

Reni yang kaget berusaha menghapus air matanya. Untung saja disana hanya ada mereka berempat. Reni yang semulanya membelakangi Bian, kini berdiri berhadapan Bian.

"Kau tanya alasan? Kenapa aku lakuin ini?" Bian mengangguk mendengarnya.

"Aku tau kita memiliki hubungan, yang tidak akan pernah kamu terima. Aku tau, Pernikahan ini hanyalah formalitas bagimu. Namun, Kita berbeda. Kamu sengaja menghinaku di depan umum. Namun aku, mendengar orang berbisik menghinamu saja, aku sedih banget." Reni tak kuasa lagi menahan tangis. Ia terisak menjelaskan semuanya. Bahkan Bian kini mematung mendengarnya.

"Lihatlah segitu tulus nya aku menjalani suatu hubungan yang dibalas penghinaan." Lanjutnya, mengusap air matanya kemudian berlari pergi menyisakan bisu bagi ketiganya terutama Bian.

Bian yang tadinya mematung, kini beralih duduk. Ia tak tahu mau berekspresi seperti apa. Alam dan Rio yang melihatnya kini mendekat kearahnya.

"Lihatlah Bian! Bahkan jika lo cari ke seluruh dunia, lo gak bakal menemui orang seperti Reni. Kalaupun ada, yang kau temui itu pasti tetap Reni." Ujar Rio menepuk pundak Bian kemudian pergi.

"Ingat bro! Sesekali jangan pentingkan ego. Jangan selalu menyakiti perasaan orang yang berniat menyakiti lo saja dia tidak bisa." Alam beranjak pergi meninggalkan Bian sendiri dengan penyesalan.

TBC

Heum, pendek yah?
Don't forget to vote༎ຶ‿༎ຶ

Altruistic✓Where stories live. Discover now