26| Putus

241 20 1
                                    

Karena yang selalu ada belum
tentu selamanya bersama.
_____

Tempat ini, tempat yang menjadi awal hubungannya dengan Nanda. Sebuah cafe pinggir jalan, yang tidak terlalu besar namun sangat bersejarah untuknya.

Bian melirik jam tangannya, menantikan seseorang yang ditunggunya sedari tadi. "Tumben, Nanda minta ketemu disini? Ada apa ya?" Gumamnya, tersenyum manis.

Ketika menghadap pintu masuk, matanya menangkap gadis cantik yang sudah lama ditunggu-tunggu kehadirannya.

Bian menatap Nanda dari bawah ke atas. "Kamu tetap saja cantik pake baju itu lagi." Ujarnya kagum, melihat Nanda memakai baju yang dipakainya saat ditembak oleh Bian dulu.

"Makasih." Nanda tersenyum tipis, mengikut duduk di depan Bian.

"Sayang? Kenapa kamu tiba-tiba minta ketemuan disini? Inikan bukan anniversary day kita?"

"Memang bukan karena itu."

"Terus?" Bian bingung, kenapa Nanda terlihat begitu serius? Ada apa dengannya? Apakah ada hal penting yang harus dibicarakan?

Nanda menarik nafas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang. "Kamu ingat tempat ini?"

"Tentu saja, sayang. Inikan tempat saat aku nembak kamu dulu." Jawabnya enteng.

"Kamu ingat baju ini?"

"Bagaimana aku bisa lupa? Itu adalah baju yang kamu pakai waktu aku nembak kamu. Kamu aneh deh, kok nanya-nanya gitu. Mana mungkin aku lupakan semuanya."

Nanda tersenyum, namun sedetik kemudian Ia kembali berekspresi datar. "Tapi mulai sekarang, kamu harus lupakan semuanya." Jelasnya, membuat Bian sedikit tak mengerti.

"Maksud kamu? Kenapa aku harus melupakannya?" Suara Bian sekarang sudah berubah. Berubah seolah menjadi dingin.

"Karena, karena aku mau-" Nanda menjeda ucapannya.

Bian menatap Nanda lekat, seolah menunggunya untuk melanjutkan ucapannya.

"Aku mau hubungan kita cukup sampai disini." Satu tarikan nafas Ia mengucapkannya. Jujur, Ia juga cukup sedih untuk mengungkapkannya.

"MAKSUD KAMU APA?!" Bian menggertak, membuat seluruh pengunjung cafe menatap kearahnya. Tak hanya mereka, Nanda sendiri juga sedikit ketakutan mendengarnya, terbukti dari matanya yang terlihat berkaca-kaca.

Melihat Nanda yang terlihat ketakutan, Bian merasa bersalah. "Ma-maaf, aku tidak bermaksud untuk membuat kamu takut." Bian meraih tangan Nanda diatas meja, sedangkan Nanda sendiri sudah menitikkan air mata.

"Tapi, alasan kamu untuk putus itu karena apa? Apa aku ada salah sama kamu?" Tanyanya lembut, namun Nanda terus saja menggeleng.

"Aku yang ada salah." Ujarnya terisak.

Bian berkerut. "Kamu gak ada salah sama aku, Nanda." Jelasnya.

"Bukan sama kamu, tapi sama seseorang."

"Siapa? Apa ada orang yang sakiti kamu? Atau ada seseorang yang mendesak kamu, biar mutusin hubungan kita? Bilang, Nanda!"

Nanda hanya menggeleng, dan terus saja terisak. Tak kuat menatap Bian.

"Terus apa? Nanda tatap aku!" Bian memegang dagu Nanda, mengarahkannya agar wajahnya menatapnya. "Aku gak mau kita putus. Aku sayang dan cinta sama kamu. Dan aku yakin kamu juga sama. Hubungan kita sudah 2 tahun, dan itu bukan waktu yang sebentar Nanda." Ujarnya lembut.

Nanda dengan pelan melepaskan pegangan tangan Bian dari tangannya. "Maaf Bian, tapi gue udah gak bisa lanjutin hubungan ini." Putusnya, lalu pergi meninggalkan Bian yang begitu dengan amarah.

Sedangkan Bian, kini Ia termenung. Amarah memenuhi dirinya, dengan mudahnya Nanda memutuskan hubungan dengannya. Tanpa alasan yang jelas, ditambah Nanda sudah merubah kata Aku Kamu menjadi Lo Gue.

Dengan mata memerah, Bian memukul meja. Lalu melenggang pergi dengan sulut emosi yang sudah diujung kepala. Ia tak perduli orang-orang yang ada di cafe melihat dan menatap dirinya.

°°°°°

Brakk!!
Trangg!!
Cringg!!

Reni yang sibuk membersihkan kamar, terkejut dengan suara gaduh dari lantai bawah rumahnya.

"Suara apa itu?" Monolog-nya, meletakkan kemoceng lalu berlari kebawah.

Reni menutup mulutnya yang terbuka, melihat suasana dilantai bawah sekarang. Berantakan, itulah satu kata yang bisa mendefinisikannya. Pecahan vas bunga dimana-mana, sofa dan meja sudah tak ditempatnya, bingkai foto sudah berceceran, guci dan perabotan lainnya sudah berhamburan.

Siapa lagi pelakunya kalau bukan tuan rumah sendiri.

"Bian, kamu kenapa?" Reni menghampiri Bian. Seraya memegang pundaknya dari belakang.

Bukannya menjawab, Bian malah mencengkeram kuat kedua bahu Reni. "NGOMONG APA LO SAMA NANDA? NGOMONG APA LO, HAH?" Gertaknya membuat Reni ketakutan.

What the hell? Ada apa dengan Bian ini.

Reni hanya menggeleng, karena memang Ia tidak tsu apa-apa.

Bian semakin kalap. Ia malah memojokkan Reni di dinding, dan mengurungnya dengan kedua tangan, agar Reni tak bisa kabur. Jarak wajah keduanya juga begitu dekat. Reni hanya bisa menangis. Kenapa Bian begitu kasar padanya?

"LO NGGAK USAH BOHONG!! GUE TAU, LO UDAH NGASIH TAU SEMUANYA SAMA NANDA KAN? AYO JAWAB!!"

"Tidak Bian, a-aku tidak pernah bicara macam-macam pada Nanda." Raut wajah dipenuhi dengan ketakutan. Pelipisnya sudah penuh dengan keringat dingin.

"KALO LO NGGAK NGOMONG APA-APA, TIDAK MUNGKIN NANDA MUTUSIN GUE."

"Hah? Nanda mutusin Bian? Tapi kenapa?" Batin Nanda, mendengarnya membuat matanya sedikit melotot.

"Tapi, aku sudah tidak pernah bicara sama Nanda beberapa hari ini. Bahkan, kami juga tidak pernah bertemu selama itu."

"GUE TAU INI SEMUA KERJAAN LO! DASAR MUNAFIK LO." Bian mendorong bahu Reni sehingga terbentur tembok.

"Asal lo tau, walaupun hubungan gue dan Nanda berakhir, bukan berarti cinta gue ke dia gue hapus, dan berpindah ke lo. Jangan harap!!" Sambungnya lagi menunjuk ke wajah Reni.

"Oiya, satu lagi. GUE BENCI LO, INGAT ITU! GUE BENCI LO LEBIH DARI APAPUN." Bian meninju dinding rumah, tepat disamping wajah Reni.

Reni menatap punggung Bian yang semakin menjauh. Hatinya begitu sakit, suaminya dengan kejam memperlakukannya seperti ini. Hanya air mata yang bisa Ia keluarkan sekarang.

"Gapapa kalo kamu benci aku, soalnya aku juga benci diri aku sendiri. Aku benci diri aku, yang tidak bisa bikin kamu bahagia dan mencintai aku." Reni mendudukkan dirinya di lantai. Menatap kasihan dirinya diatas lantai putih yang memantulkan dirinya.

Reni mengusap air matanya. "Aku harus bertemu dengan Nanda. Aku tidak boleh membiarkan mereka putus. Setidaknya aku harus bisa mempersatukan mereka lagi."

To be continued

Kasian yah jadi Reni:')
Ga tau apa-apa tapi jadi sasaran.

Jadi kesel sama Bian gak?

Altruistic✓Where stories live. Discover now