14| Ingin berjuang

266 22 2
                                    

Lain kali kalo diperjuangin,
tau diri yah ganteng.
_____

Ohiya, btw jangan lupa liat MULMED <3
________

Triingg🔔

Triingg🔔

Bel pertanda pulang sekolah, sudah berbunyi. Menandakan para siswa siswi di wajibkan pulang. Riuh gemuruh sorak sorakan siswa, tatkala mendengar bunyi itu. Halaman sekolah yang semulanya sepi berubah menjadi lautan siswa siswi.

"Hai." Pekik Bian dari kejauhan sembari melambaikan tangannya.

Reni yang berada sejajar di hadapan Bian, sedikit tersenyum percaya diri. Tumben Bian memanggilnya di sekolah. Dengan senyum tipis, Ia membalas lambaian tangan Bian.

"Sini!" Panggil bian, seolah mengisyaratkan agar yang di panggilnya itu menghampiri dirinya.

Reni menunjuk dirinya bingung, seakan-akan menanyakan Aku? dan Bian pun mengangguk antusias.

Karena tak mau ke PD-an, Ia melirik samping kanan dan kirinya siapa tau bukan dia yang dimaksud. Namun, tak ada seorangpun di sampingnya kini.

"Sini cepat!" Reni mengangguk dan bersemangat.

Namun saat hendak ingin melangkah, seseorang dari belakangnya tiba-tiba mendahuluinya. Oh gosh, itu adalah Nanda. Ternyata yang di sapa Bian tadi itu adalah Nanda, yang berada di belakang dan tak terlihat oleh Reni.

Reni mengutuk dirinya, bisa-bisanya dia percaya diri kalau dia yang di panggil oleh Bian.

Nanda bergelayut manja pada pacarnya itu. Dan sepertinya Bian pun tak masalah jika Nanda begitu kepadanya.

Boleh ga sih Reni cemburu? Secara Bian adalah suaminya. Ada rasa sakit yang mendobrak hatinya sekarang. Entah kenapa, tapi matanya saat ini sangat ingin meneteskan air bening, yang disebut Air mata.

"Ya Allah aku tidak boleh begini. Aku cemburu pada pacar suamiku. Aku tidak boleh begini, Ya Allah. Aku memang istrinya, tapi Nanda yang lebih dulu mengenalnya jauh sebelum aku menjadi istrinya."  Batinnya menahan tangis.

"Sayang, Anter aku pulang dong! Mobil aku lagi di bengkel." Ujar Nanda dengan nada manja.

"Emang, mau?"

"Kenapa? Yaudah aku pulang sendiri saja." Nanda pura-pura ngambek.

"Eh-eh, kok gitu sih. Masa iya, pacar aku mau di anter pulang, aku nolak." Bian menarik tangan Nanda, dan membujuknya. Dan kejadian itu, masih terpantau jelas oleh mata Reni yang masih setia berdiri di sana.

"Makasih." Nanda memeluk Bian. Sedangkan Bian membalas pelukan tersebut dengan senang. Tak lupa juga Ia mengode Alam dan Rio, yang baru saja datang untuk mengantar Reni pulang. Alam dan Rio yang sebenarnya kesal dengan sikap Bian di hadapan istrinya itu, hanya bisa mengangguk lesu.

Setelah melihat anggukan kedua sahabatnya, Bian dan Nanda melenggang pergi, dengan tangan berada di pinggang satu sama lain.

"Ren, lo gak usah sedih! Nanti kalo dia kehilangan orang sebaik lo, baru tau rasa tuh si Bian." Alam mencoba membuyarkan sedih Reni.

Reni dengan cepat mengedipkan matanya berulang kali, agar bekas air matanya hilang. Sedetik kemudian Ia tersenyum tipis. "Yang sedih siapa? Aku gak sedih kok." Ujarnya berbohong.

"Lo bisa bohongi kami dari senyuman lo. Tapi tidak dengan mata lo, yang menjawab segalanya." Reni memang tak pandai berbohong. Apalagi membohongi Rio, yang notabennya seperti Cenayang.

"Udah-udah! Daripada sedih, mending kita main tebakan saja." Alam berusaha mencairkan suasana.

"Ren, lo pernah liat sabun mandi gak?" Lanjutnya memberi tebakan.

"Pernah."

"Nah, dia mandinya gimana?" Pertanyaan itu membuat Reni bingung.

"Iya, juga. Gimana yah?" Dengan polosnya Reni bertanya, seolah ingin mengetahui.

"Nih curut, ngajarin anak orang untuk jadi sengklek sepertinya." Monolog Rio melihat aksi keduanya. Namun perkataannya itu masih bisa di dengar oleh Alam.

"Kenapa? Gak Suka sama tebakan saya? Silahkan angkat kaki dari bumi ini!"

"Lah ngatur, lo." Jawab Rio tak terima.

"Lah kok gak terima?"

Aksi keduanya membuat Reni sedikit tenang. Keduanya berhasil membuat Reni tertawa lagi. Melupakan sejenak sedihnya yang tadi.

°°°°°

Entah sudah berapa kali Reni mondar-mandir melirik jam di dinding. Pasalnya, sudah hampir malam namun suaminya belum juga pulang dari mengantar Nanda.

Kenapa dia harus risau? Bian saja tak pernah merisaukannya.

Karena tak ingin larut dalam kekhawatiran, Ia memilih merapikan tempat tidur yang sebelumnya Ia gunakan untuk tidur siangnya.

Satu persatu bantal disusun. Sprei juga di rapikan, di sejajarkan agar tak kusut. Namun, sekuat apapun Reni berusaha menyibukkan diri, tetap saja Ia masih memikirkan Bian.

"Senang ya kamu, setiap hari bisa di peluk sama suamiku?" Reni menatap geram ke arah guling yang di pegangnya.

Berbagai kegiatan random Ia lakukan agar fikirannya tidak mengarah terus ke Bian. Namun, fikiran dan hati tak sejalan. Sekuat apapun fikirannya berusaha menghindar, namun hatinya selalu menariknya untuk merisaukan Bian.

Reni menatap foto yang berbalutkan bingkai, menampakkan seorang Lelaki tampan dengan senyum manisnya.

"Aku tau, aku mungkin tidak bisa mengatakan ini secara langsung. Sekarang sepertinya aku ingin berjuang. Tapi, please lain kali kalo diperjuangin tau diri yah ganteng." Ujarnya tanpa sadar. Tak tau kenapa, kalimat itu bisa lolos dari mulutnya.

"Gak, gak! Gak boleh. Bian milik Nanda, aku tidak boleh merebutnya."

"Aduh, aku kenapa sih? Kok malah mikirin Bian."

"Hufft, mending aku ke dapur deh masak."

Jadi gini, kalau seorang Introvert jatuh cinta?
Tak mau mengakui perasaannya sendiri, padahal hatinya jujur mendorongnya untuk mengungkapkannya walaupun tanpa sadar.

TBC

Kalo YouTube kan🔜 Like, comment and subscribe.

Nah, Kalo Wattpad🔜 Vote, comment and share.

Bisa gitu tambahin ALTRUISTIC ke reading list kamu🙃
Ga maksa kok, tapi boong. Hha ga kok, wajib nambahin!
Canda.

Altruistic✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang