11| Hampir saja

347 32 1
                                    

Selagi masih bisa merasakan segarnya O2,
aku siap menjalani kerikil kehidupan.
____

Karena kejadian kemarin, membuat suasana di rumah kini begitu canggung. Jika sebelumnya, Reni biasa menanyakan hal kecil ke Bian seperti, mau sarapan apa? Makan malam apa? Dan sebagainya, namun kini tidak lagi. Ia lebih memilih diam, dan menjawab hanya dengan anggukan atau gelengan jika di tanya oleh Bian.

Meski begitu, Ia tetaplah seorang istri. Ia tetap harus menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, walau dalam keadaan marah sekalipun. Karena bundanya selalu mengajarkan dirinya untuk menjadi seorang istri yang baik, yang melayani suami dengan sepenuh hati dalam keadaan apapun itu.

"Lo udah masak makan malam?" Bian berjalan ke meja makan saat merasakan aroma makanan. Reni mengangguk datar tanpa ekspresi.

"Tumben lo nggak nanya ke gue, mau makan apa?" Tak ingin berlama-lama dekat Bian, Reni memilih ke ruang tengah untuk tidur di sofa.

Bian bingung melihat sikap Reni yang tidak biasanya. "Tuh anak kenapa? Diam aja kayak orang bisu." Monolognya dengan satu alis dinaikkan.

"Oh mungkin dia masih marah karena kejadian kemarin."

"Ketimbang masalah sepele aja, dianggap serius."

"Dia terlalu menganggap semuanya serius, sehingga di kasih bercandaan dikit langsung kepikiran."

Bercandaan? Bian fikir, menghina di depan orang banyak itu bercandaan. Dasar manusia berhati buta, eh berhati batu.

"Tau deh, ngapa gue harus mikirin dia. Makan jauh lebih penting dari mikirin dia."

Bian terus saja berbicara sendirinya, tanpa merasa bersalah dengan apa yang dilakukannya kemarin, dan tak mau berterimakasih atas apa yang dilakukan Reni untuknya.

"Iya Bian. Aku terlalu serius menjalani hidup. Bahkan, hubungan yang kamu anggap bercandaan adalah suatu keseriusan bagiku." Ujar Reni dengan mata yang berkaca-kaca, yang masih mendengar semua kata-kata Bian.

°°°°°°

"Sayang, jadi kamu tinggal sendiri di sini?" Tanya Nanda yang sedang duduk bersender di lengan Bian.

"Iya sayang." Jawabnya yang di tatap tidak suka oleh Alam dan Rio.

Hari ini, Bian mengajak Nanda untuk main ke rumahnya. Ralat, rumahnya dengan Reni. Tak memperdulikan apa yang akan terjadi selanjutnya, Bian tak bisa menolak permintaan kekasihnya itu saat Nanda meminta untuk main ke rumah baru Bian. Ia sangat ingin ke sana, sebab di rumah orangtua Bian, satpam rumah mengatakan bahwa Bian sudah pindah ke rumah baru. Untung saja satpam tersebut, memahami dan merahasiakan tentang Reni.

"Nan, leher lo patah ya sampai harus nyender di lengan Bian?" Alam yang sedari tadi diam, kini membuka suara. Rio menahan tawa dibuatnya.

"Sewot amat sih jomblo." Ketus Bian melempari Alam bantal sofa.

"Sayang, aku kebelet. Toiletnya di sebelah mana?"

"Toilet dibawah rusak. Kamu pake toilet kamar aku aja di atas."

"Oke." Nanda lari terbirit-birit karena tidak kuat menahan panggilan alam.

"Bian, lo udah kasih tau Reni kalau Nanda kesini?" Tanya Rio.

"Gak."

"Astaga, otak lo dangkal atau memang gak ada otak sih, hah? Gimana kalau nanti Reni datang?" Alam geram dengan kelakuan temannya itu.

Altruistic✓Where stories live. Discover now