The Game of Shazad (2)

34.8K 4.3K 188
                                    

Terik matahari yang membakar kulit membuat siapa saja akan mengeluh dan segera menghindar. Tapi tidak bagi Sharen. Wanita cantik itu terus melangkah seolah tidak merasakan sengatan matahari menyentuh kulitnya.

Sharen lelah. Ia bekerja dari pagi hingga pagi kembali. Dan hari ini ia menyempatkan diri untuk berbelanja kebutuhan sehari-harinya.

"Sharena Queen. Nama yang dikasih Ayah gak sesuai sama nasib anaknya,"  gumam Sharen sambil memasuki rumah dengan cepat.

"Aku harus masak, mandi, baru makan," ujarnya menuju ke dapur mini di dalam rumah.

Setelah 2 tahun berlalu, Sharen sudah terbiasa hidup sendiri. Bukan sendiri yang sebenarnya. Baginya ini lebih baik. Tidak ada yang memerintahnya dengan kasar dan ia juga tidak diperlakukan seperti babu lagi.

Selama ini Sharen menahan diri untuk pergi dari rumah ibu tirinya karena ia belum punya tujuan ke mana akan pergi. Pikirannya belum mampu untuk membayangkan hidup menggembel di jalanan.

Ternyata Tuhan tidak sejahat itu padanya. Sharen dipertemukan dengan seorang nenek tua yang tidak memiliki keluarga. Ia dibawa tinggal di rumahnya yang cukup sederhana tapi sangat nyaman bagi Sharen.

Untuk apa hidup mewah berlimpah harta dengan ibu tirinya jika ia sendiri tidak bisa merasakan apa itu nyaman dan bahagia? Makanya Sharen sangat menghormati nenek tua yang kini berjalan ke arahnya dengan tongkat di tangan kanannya.

"Nenek mau apa? Biar Sharen ambilkan," Sharen mendekati si nenek dan membantunya duduk di kursi meja makan.

"Gak ada. Nenek cuma mau lihat kamu masak. Sesekali kita beli makanan saja, Sha. Kamu pasti kelelahan seharian bekerja dan harus memasak setiba di rumah."

Sharen tersenyum dan kembali ke area favoritnya. Memasak sebenarnya memang hobi Sharen sejak dulu. Hanya saja, selama tinggal di rumah ibu tirinya, Sharen tidak diperbolehkan mendekati area tersebut. Karena tugasnya membersihkan rumah dan mencuci.

"Lebih sehat makanan bikin sendiri, Nek. Apalagi Nenek gak boleh makan sembarangan. Bentar, ya, Sharen bakal masak cepat biar kita bisa makan."

Nenek tua itu hanya tersenyum saja dan mengangguk. Pandangan matanya berkaca-kaca. Andai saja ia mempunyai cucu laki-laki, pasti akan ia jodohkan dengan wanita muda di depannya ini.

"Oh, iya, tadi ada kurir datang ke sini. Katanya ada kiriman buat kamu. Nenek taruh di atas meja rias kamu, Sha."

Sharen mengerutkan dahi. Paket? Untuknya? Dari siapa? Seingat Sharen, ia tidak pernah membeli barang online dan sejenisnya.

"Oke, Nek."

Pandai memasak merupakan salah satu hobi yang diturunkan oleh ayahnya. Sejak dulu Sharen ingin menjadi seorang chef handal. Hanya saja, semuanya harus ia telan kembali karena itu sangat tidak mungkin terwujud.

Sharen fokus pada pekerjaannya. Memasak membuat hatinya senang dan bahagia.

***

"S?"

Sharen mencoba mengingat nama teman-teman sekolahnya yang kemungkinan mengandung huruf S. Tapi sejauh ingatannya, tidak ada. Di kelasnya hanya ada satu S. Dan itu adalah namanya.

"Salah kirim kali, ya," gumam Sharen sambil membuka paketan yang masih terbungkus rapi.

Sharen terdiam dengan mata yang tak lepas menatap gaun cantik yang berada di dalam kotak. Ada sepasang heels juga dan beberapa pemanis lainnya.

Ada sebuah kartu yang terselip di sana. Sharen mengambilnya dan membaca tulisan di atasnya.

Paradise Hotel, 9009.
19.00 WIB.

SHORT STORY 2017 - 2021 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang