Just Friends in Bed

48.7K 4.1K 170
                                    

Melati. Seperti namanya yang secara filosofis adalah lambang kesucian dan kemurnian, pasti keinginan orang yang memberi nama tersebut juga demikian. Tapi sayang, Melati yang kini tumbuh sebagai wanita dewasa berusia 27 tahun itu bukanlah wanita yang suci.

Tidak ada yang bisa Melati banggakan dari dirinya. Melati kotor. Bahkan ia merasa hina dan tidak pantas untuk siapa pun. Melati terjerumus ke dalam kubangan yang ia pilih sendiri.

"Dokter Mel, ada pasien,"

Melati tersentak dan mengangguk pelan pada perawat yang bekerja dengannya. Menarik napas, Melati menghembuskannya perlahan agar ia kembali berkonsentrasi.

Tidak perlu ada penyesalan. Bukankah semua keputusan di hidupnya adalah pilihannya sendiri? Jadi, Melati tidak akan menyesalinya.

Usai memeriksa pasien yang kebetulan menjadi pasien terakhirnya hari ini, Melati membereskan barang-barangnya untuk segera pulang. Dia akan merilekskan tubuhnya dengan berendam.

Butuh 20 menit untuk Melati bisa tiba di rumah. Keadaan rumah yang sepi membuat Melati sudah terbiasa. Dia sah, tapi seperti simpanan.

"Kamu harus kuat dan berdiri tegak. Ini semua pilihanmu. Terima. Jangan nyesel."

Kalimat itulah yang selalu Melati sugestikan pada dirinya. Tidak perlu ada kesedihan dan air mata. Hidupnya tidak perlu dikasihani.

Melati terlonjak mendengar bunyi pintu kamar yang dibanting. Melati hendak membuka pakaiannya bersiap untuk mandi. Tapi ia mengurungkannya saat melihat orang yang selama ini jarang menemuinya kini tiba-tiba berada dalam satu ruangan dengannya.

"Kemasi barang-barangmu," titahnya tanpa menatap Melati.

Melati mendekat dengan kening berkerut. "Kenapa? Ini rumahku," katanya.

"Rumah ini sudah aku jual. Kemasi semua barang-barangmu dan keluar dari sini. Pemilik barunya akan datang sebentar lagi."

Jantung Melati seolah dipaksa berhenti saat mendengar kalimat yang diucapkan pria di depannya. Terdengar begitu 'enteng' saat pria itu mengatakannya.

"Kamu gila?! Ini rumahku! Kamu gak punya hak untuk menjualnya!"

"Jangan cerewet! Lakukan saja apa yang aku katakan!" teriak pria tersebut dengan keras di wajah Melati.

"Kamu gila. Kamu gila." Melati memejamkan mata. Selama hampir 2 tahun menikah, ini pertama kalinya Melati menangis. Dadanya benar-benar sakit.

"Ini rumah peninggalan orangtuaku! Kamu menjualnya? Bagaimana bisa... Kamu keterlaluan, Ray!"

"Ini!"

Pria yang Melati panggil Ray itu melempar sebuah map yang sejak tadi ia pegang ke wajah Melati. Ekspresi wajahnya begitu dingin dengan tatapan mata tajam kepada Melati.

"Baca dan lihat! Itu tanda tanganmu!"

Melati meraih map tersebut dan membukanya. Matanya membaca setiap kalimat yang tertulis di sana. Lalu ia menatap bubuhan tanda tangan. Benar. Tanda tangan itu miliknya. Tapi pernyataan di atas kertas itu membuat Melati menggeleng kuat.

"Aku mewarisi rumah ini untuk adikku! Aku menulis nama adikku! Bukan nama pria sialan sepertimu!" teriak Melati tidak terima. Dia sudah ditipu.

"Hm, kamu benar. Tapi itu kertas palsu. Ini yang asli."

Melati meraih ponselnya yang berada di atas ranjang. Wanita itu dengan cepat mendial nomor sang adik. Tapi bunyi dering ponselnya begitu dekat. Melati menoleh ke arah Ray. Ponsel adiknya ada di tangan Ray.

"Di mana adikku?!" Melati mendekati Ray dan mengguncang tubuh pria itu.

"Adikmu akan tetap hidup kalau kamu menuruti perkataanku. Kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini."

SHORT STORY 2017 - 2021 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang