2

40.2K 4.2K 280
                                    

Al tersenyum lebar saat motor ibu berbelok ke sebuah parkiran mall besar di kota ini. Ini pertama kalinya ia ke sana. Ia sudah sangat senang walaupun ia tahu ibu tidak akan membelikannya sesuatu. Setidaknya, ibunya mengajaknya keluar. Itu saja sudah membuat Al bahagia berlipat-lipat.

Mereka mengelilingi mall itu tanpa membeli apa-apa, membuat Al lama-lama mengerutkan alis bingung. Sebenarnya ibu ada perlu apa di sini? Kenapa mereka hanya berkeliling saja? Apa ibu hanya ingin mengajaknya jalan-jalan saja? Walaupun Al senang kalau itu memang benar, tapi itu aneh. Ibu tidak terlalu suka dekat dengan Al. Atau biasanya begitu.

Kalau diingat-ingat, ayah juga sudah agak lama tidak memukulnya. Terakhir Al dipukul oleh ayah sepertinya seminggu lalu? Walaupun kemarin ia habis diinjak-injak oleh kakaknya. Apakah ini artinya ibu dan ayah sudah mulai menyayanginya?

"Ibu lagi nunggu apa?" tanya Al pelan saat melihat ibunya lagi-lagi melihat ke arah jam.

Ibu memelototinya tajam, "Ngga usah tanya-tanya!"

Al mengangguk pelan mendengarnya.

Mereka berjalan dalam diam selama beberapa saat sebelum ibu menariknya ke sebuah toko olahraga. Mereka mengelilingi toko itu sambil bergandengan tangan, membuat Al tersenyum lebar tanpa putus-putus di sana. "Al seneng ibu mau gandeng Al."

Ibunya mendengar gumaman Al, tapi tidak membalas. Dadanya agak perih mendengar kepolosan anak itu. Demi mengalihkan perasaan bersalahnya, ia sebuah jaket berwarna biru yang terlihat keren. Ia mencocokkannya sekali dengan Al, lalu membawanya ke kasir. Masih sambil menarik tangan anak itu.

"Ini, buat kamu. Agak mahal, sih, tapi ngga papa buat kenang-kenangan."

Al sudah terlanjur senang saat mendengar jaket keren itu untuknya. Ia sama sekali tidak mendengar kata-kata ibu yang selanjutnya. Karena sedang senang, ia membiarkan ibunya menarik tangannya lagi. Kali ini mereka memasuki lift dan berhenti di lantai teratas.

Ibu mencengkram tangannya agak kuat saat mereka keluar dari lift, membuat Al agak meringis kesakitan. Tapi ia menahannya seperti biasa. Al memeluk jaket barunya dengan sebelah tangannya kuat-kuat agar tidak jatuh. Ia tidak mau hadiah pertamanya dari ibu kotor sedikit saja.

"Saya ingin bertemu Pak Zeith Walen. Kami sudah buat janji," kata ibu sopan pada perempuan berpakaian rapi di sana.

Perempuan berpakaian rapi itu tersenyum, "Dengan ibu Zinnia? Pak Zeith sudah menunggu. Silakan masuk."

Ibu masuk sambil tersenyum satu-satunya orang di ruangan itu, "Halo, mantan. Aku ke sini mau nyerahin anak kita. Seperti perjanjiannya, kamu harus bayar semua uang yang udah aku keluarin buat besarin dia."

Al terdiam di tempat begitu mendengar kata-kata ibu. Tatapannya kosong saat ibu mendorong bahunya ke arah laki-laki itu yang kini menatap terkejut ke arahnya. Hatinya terasa retak dan pecah.  Ia tidak menyadari saat laki-laki itu menarik ibu menjauh darinya. Ia tidak memperhatikan apa yang mereka perdebatkan itu.

Yang ia tahu, kini ia dibuang. Tidak, mungkin ia dijual oleh ibunya sendiri.

➰➰➰

Zeith mengusap wajahnya gusar. Ia tidak bisa mengerjakan pekerjaannya dengan tenang. Dokume-dokumen yang dibacanya hanya selintas memasuki otaknya tanpa diproses lebih lanjut, jadi ia harus membacanya berulang kali hingga benar-benar mengerti. Sudah jelas, ini disebabkan anak kecil yang dilihatnya tadi siang di perempatan jalan raya. Melihat anak sekecil itu menjajakan barang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan di kota ini. Yang mengejutkan adalah wajah anak itu yang jelas merupakan copy paste dirinya saat kecil. Ia beberapa kali melihatnya di perempatan jalan itu. Bocah imut itu tersenyum lebar saat menjajakan tisu dan permen, bahkan saat hujan tengah deras seperti ini.

AL WILL BE OKAYWhere stories live. Discover now