12

30.6K 3.3K 31
                                    

Setelah makan siang, Al duduk sambil memeluk lututnya di atas ayunan yang ada di depan kamar Mas Dimas. Pandangannya kosong tanpa benar-benar menatap apapun. Hari ini ia dilarang berangkat ke sekolah oleh keluarganya, padahal Al sudah merasa lebih baik. Yah, ia masih agak demam, tapi Al yakin ia bisa bertahan sampai pulang sekolah hari ini. Dan jawaban dari keluarganya adalah,

"Nggak ada yang lebih penting daripada kesehatan kamu, Al!"

Rasanya aneh. Memang menyenangkan, tapi tetap saja rasanya aneh. Selama sebulan ia tinggal di sini, Al sudah mengalami banyak hal yang tidak pernah ia lakukan selama 13 tahun hidupnya. Makan bersama setiap pagi, bercanda saat memasak dengan mama, dipeluk, digendong, hal yang sudah sangat lama tidak dirasakannya, serta disayangi. 

Papa dan mama yang selalu memeluk dan menciumnya, kakak yang tidak pernah memarahinya, ia diomeli kemarin, tapi tidak pernah benar-benar dimarahi sampai dipukul. Mama dan papa selalu menciumnya sebelum tidur. Kedua kakaknya selalu rebutan untuk tidur dengannya. Dan mereka selalu mencemaskan kesehatan Al. Ia pernah beberapa kali kambuh selama sebulan ini, dan Al tidak pernah dimarahi karena sakit. Keluarganya selalu memarahinya karena Al tidak menjaga kesehatannya. Keluarganya tidak mau Al sakit karena menyayanginya, bukan karena tidak mau mengeluarkan banyak uang untuknya.

Bahkan setelah sebulan, rasanya masih aneh.

Tiba-tiba pandangannya teralihkan pada beberapa mobil yang terlihat bagus berhenti di depan rumahnya. Satpam yang berjaga di sana tergopoh-gopoh membukakan pagar rumah yang begitu besar menurut Al. Ia hanya diam memperhatikan saat rombongan itu memasuki rumahnya. Hari ini papa tidak bekerja, katanya ia ingin memastikan Al benar-benar baik-baik saja. Mungkin rombongan itu hendak menemui papa.

Beberapa orang seumuran papa dan mama, serta sepasang orang yang terlihat jauh lebih tua dari mereka keluar dari dalam mobil. Dari pakaiannya dapat dilihat mereka sama kayanya dengan papa. Al turun dari ayunan dan sedikit mendekat saat disadarinya salah satu dari mereka adalah dokter yang ditemuinya saat ia sakit pertama kali di sini. Kalau tidak salah itu kakaknya papakan? Ada apa ya, mereka ke sini?

Al terkesiap saat pandangannya bertabrakan dengan seorang cowok yang sedikit lebih tua dari Mas Dimas. Al buru-buru mundur menjauh dari balkon sambil memakai kupluk jaketnya. Mama memaksanya memakai jaket sebagai syarat kalau mau keluar dari kamar. Saat tahu Al hanya diam di ayunan, Mama bahkan juga menyampirkan selimut padanya. Katanya, udara di luar dingin dan mama tidak mau Al kedinginan.

Saat Al masuk ke dalam kamar, tepat sekali papa juga masuk dari arah dalam rumah. Al sudah menduga papa akan mendatanginya. Dulu juga selalu begitu, ibu dan ayah tidak mengizinkannya keluar saat ada tamu yang datang. Ia sudah menduganya, tapi ternyata sedih juga saat papa melakukan hal yang sama.

"Al, keluar, yuk. Ada yang mau ketemu sama Al," kata papa sambil mendekat dan menggendong Al.

Al mengerjap mendengarnya, papanya bukan datang untuk melarangnya keluar?

"Al? Al mau nggak? Kalau nggak mau, kita nggak usah keluar," kata papa dengan lembut. Tangannya bergerak mengelus kepala Al dan menurunkan kupluk jaket yang belum diturunkannya. "Masih pusing, ya? Al masih demam. Sesak, nggak?"

Al bingung. Sepertinya papa memberikannya pilihan untuk tetap di sini atau menyambut orang-orang itu. "Siapa, Pa?"

Papa yang sedang sibuk mengecek suhu di dahi, pipi, dan leher Al bergumam sebentar, "Hmm... itu keluarga besar kita. Ada Opa, Oma, sama saudaranya papa. Inget nggak, yang Al ketemu di rumah sakit? Ada sepupunya Al juga."

"Ada Kak Kaisar? Emang Kak Kaisar nggak sekolah?" tanya Al. Kini mereka duduk di atas kasur dengan Al masih di pangkuan papa.

"Oh iya, Al udah ketemu sama Kai, ya. Sepupu Al nggak cuma Kai aja, ada banyak. Ada Kak Varo, Kak Chery, Kak Willy juga. Mau ketemu ngga?"

AL WILL BE OKAYWhere stories live. Discover now