5

42.1K 3.9K 107
                                    

Lea dan Zeith butuh waktu lama untuk membuat Al berhenti merasa bersalah karena sudah merepotkan. Lea benar-benar gemas, tidak, ia kesal sekali karena harus menekankan hal yang sudah pasti pada anak berumur 13 tahun. Seharusnya anak umur segitu belum ada rasa sungkan untuk meminta sesuatu bukan? Ia benar-benar marah pada orang yang merawat Al selama ini. Apa selama ini Al tidak merasakan hangatnya keluarga?

Ia jadi teringat cerita Zeith kemarin yang mengatakan kalau Al belum menangis sejak datang. Pasti Al merasa sungkan dan takut ditolak kalau ia merepotkan. Pasti anak itu kemarin menahan perasaannya dalam-dalam sampai jatuh sakit begitu. Perasaan Lea sebagai seorang ibu terluka membayangkannya. Walaupun mereka baru bertemu kemarin, ia sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri.

Tadi Al sudah melewati serangkaian pemeriksaan medis dan didapati kalau anak itu menderita asma yang agak parah. Seperti yang dipikirkan dokter kemarin, dua tulang rusuknya juga mengalami retak kecil, sehingga anak itu agak kesakitan saat bernafas. Lalu ternyata ia juga menderita magh karena makan tidak teratur. Lea sedih sekali membayangkan tubuh ringkih itu menerima banyak sekali rasa sakit.

Zeith juga bertanya pada Al siapa yang memukulinya, tapi Al hanya menunduk tanpa mau menjawab. Sehingga mereka tidak mau memaksa lagi. 

Untungnya setelah Rey pulang dari sekolah, anak itu sudah bisa tertawa saat diajak bercanda oleh abangnya itu.

"Abang, jaket Al kemaren di mana?"

Rey yang saat itu tengah makan terdiam sejenak, "Jaket Al yang mana ya? Mama tahu ngga?"

"Jaket yang Al bawa kemaren!" respon Al dengan nada panik.

Lea yang melihat itu mengerjapkan mata. Ini pertama kalinya Al menunjukkan ekspresi seperti itu sejak datang kemarin. Ia jadi bertanya-tanya apakah jaket itu sangat penting? Kenapa?

"Di bungkusan yang Al bawa, ya?" tebak Lea. Karena kemarin Al sama sekali tidak memakai jaket saat datang.

"Ah, bungkusan itu? Itu isinya jaket? Kayaknya ditinggal di kamar Abang, deh, waktu kita panik semalem," jawab Rey tidak terlalu peduli sambil melanjutkan makannya. 

Sayangnya, Al sama sekali tidak tidak peduli. Lea bisa melihat bibirnya yang bergetar dan matanya yang siap meluncurkan air mata. Lea menggigit bibir melihatnya. Anaknya yang satu itu benar-benar super imut kalau mau nangis begitu. Dengan cepat Lea mendekatinya dan memeluknya sambil mengusap-usap rambut tipisnya. Walaupun Lea penasaran dengan ekspresi menangisnya bagaimana, anak itu belum boleh menangis sekarang. Nanti nafasnya bisa sesak lagi.

"Ngga apa-apa, nanti kita minta papa atau Mas Dimas buat bawain ke sini, ya?"

Al mengangguk pelan kemudian menunduk.

"Itu jaket dari ibu, ya?"tebak Lea penasaran. Ia ingat suaminya itu bercerita anak itu selalu memeluk jaket itu tanpa melepasnya sedikitpun kemarin.

"Iya."

"Baru beli kemarin? Warna apa jaketnya?"

Lagi-lagi anak itu mengiyakan, "Warna biru jaketnya."

"Al suka warna biru?"

Kali ini anak itu menggeleng, "Tapi itu satu-satunya hadiah dari ibu, jadi Al suka," balas Al sambil tersenyum lebar.

Lea dan Rey seketika terdiam mendengarnya. Mereka sama-sama menatap Al yang kini tersenyum lebar membalas tatapan Lea. Uh, hati Lea terbakar lagi. Bisa-bisanya wanita itu mengabaikan anaknya yang seimut ini? Bagaimana bisa?

"Nanti abang beliin Al banyak jaket yang Al suka warnanya," kata Rey dengan nada dingin. Lea sampai menggigil mendengarnya, tapi sepertinya Al tidak menyadarinya.

AL WILL BE OKAYWhere stories live. Discover now