38

15.1K 1.7K 57
                                    

"Dih, sinting banget filmnya!" gerutu Dean begitu keluar dari bioskop.

"Salah lo kenapa mau nonton film kayak gitu. Emang lo cewek?!" balas Devan. Ia memang menonton film ini untuk menemani Dean, karena kata kembarannya itu novelnya bagus. Ia sempat agak ragu saat melihat posternya tadi, ternyata benar. Film ini benar-benar rating nol.

"Filmnya bagus, kok," celetuk Al di sebelah Devan. Sahabatnya itu terlihat tenggelam dalam balutan jaket milik Devan. Tadi di dalam bioskop tiba-tiba Al mengatakan kalau ia kedinginan, karena itu ia meminjamkan jaketnya. Pantas saja Al selalu memakai jaket di sekolah, anak itu benar-benar tidak kuat menahan dingin.

Dean melotot mendengarnya. Ia mengguncang bahu Al dengan frustasi, "Nggakkk!!! Al, kenapa lo nggak setuju sama gue?"

"Eh?" Al yang tidak mengerti hanya diam diperlakukan begitu oleh Dean.

"Oh, itu Bang Ega."

Dean yang baru hendak menceramahi Al seperti apa harapannya pada film itu menoleh mendengar kata-kata Devan. Benar saja, ia melihat abangnya yang saat mereka pergi tadi masih tidur sedang berdiri di sebelah tiang sambil memainkan ponselnya. Dean dengan semangat menarik tangan Al untuk mendekati abang mereka itu.

"Bang! Ngapain lo di sini?"

Ega yang merasa mendengar suara adiknya menoleh, dan benar saja, kedua adiknya berada tepat di depannya. Seketika ia menyesal sudah datang ke sini. Tadi Dian tiba-tiba mengajaknya kencan, jadi ia terpaksa meninggalkan kasurnya dan datang ke sini. Kalau tahu kedua adiknya datang ke mall ini, ia lebih memilih untuk pergi ke mall lain. Bersama adiknya di mall berarti siap-siap dompetnya bolong. Kalau sudah bersamanya, kedua adiknya itu seolah tidak peduli mereka juga punya uang, mereka pasti selalu minta padanya.

"Kencan sama siapa lo sekarang?" tembak Devan. Adiknya yang itu menatapnya dengan pandangan disipitkan.

"Sama pacar gue, lah," jawab Ega asal. Pandangannya terarah pada bocah di belakang Devan yang terlihat seperti bersembunyi di belakang adiknya itu. "Gue kira kalian bareng Zio."

"Adeknya Zio lagi rewel," jelas Dean, "Bang, mau es krim!"

Ega mengangguk saja membalas adiknya itu. Perhatiannya tersita pada anak di belakang Devan itu. "Itu adiknya Dimas bukan, sih? Siapa namanya? Al? El?"

"Namanya Al," jawab Devan pelan. Ia melirik ke arah Al yang mencengkram lengan bajunya. Sahabatnya itu agak menunduk seolah sedang menyembunyikan wajahnya. Ia melirik lagi ke arah abangnya yang kelihatan sama bingungnya dengannya. Tadinya ia pikir Bang Ega pernah melakukan kesalahan pada Al, karena itu sahabatnya ini langsung mundur ke belakang Devan begitu mereka sampai di dekat Bang Ega, tapi sepertinya Bang Ega juga tidak mengerti kenapa Al seperti ini.

"Al nggak inget sama abang? Waktu itu abang yang nemenin Dimas bawa kamu ke rumah sakit. Kita juga pernah ketemu di kamar Dimas," bujuk Bang Ega.

Bukannya merasa lebih tenang, cengkraman Al di lengan baju Devan terasa semakin kuat. Menyadari hal itu, Devan melangkah menutupi Al dari pandangan abangnya itu. Sepertinya Al benar-benar takut dengan Bang Ega, cengkraman Al tidak seperti ia meminta Devan untuk menemaninya karena ia malu atau semacamnya, tapi seperti tambatan agar ia tidak kabur saat itu juga.

Devan memberi kode agar Dean lebih peka dengan keadaan Al. Dean yang tadinya baru hendak memilih eskrim menjadi khawatir. Ia mendekati Al dan menggenggam tangannya. Meskipun sayang karena kalau bersama Bang Ega mereka bisa menyimpan uang mereka, tapi mereka tidak bisa mengabaikan Al juga. Dean akhirnya memilih mengajak Al untuk meninggalkan tempat itu, meninggalkan Bang Ega yang semakin bingung melihat  itu.

Ega yang melihat bagaimana kedua adiknya itu begitu protektif terhadap adiknya Dimas itu hanya bisa pasrah. Padahal ia hanya bermaksud berkenalan saja, tapi seperti waktu itu, Al kabur begitu saja. Ia jadi bertanya-tanya kenapa anak itu terlihat seperti sangat takut dengannya.

AL WILL BE OKAYWhere stories live. Discover now