37

15.9K 1.6K 37
                                    

Rey melirik kamar adiknya saat keluar dari kamar untuk turun sarapan. Sejak kejadian beberapa hari lalu, entah kenapa Al terasa berbeda. Ia jarang keluar dari kamar, bahkan tidak mau lagi tidur sekamar dengannya atau Mas Dimas. Ia ingin bertanya ada apa, tapi anak itu seolah menjauh darinya.

"Ma, Al belum turun?" tanya Rey pada mama yang sedang melamun di depan TV. Rey sedih melihatnya, mama selalu seperti ini setiap hari kematian Chika. Tahun ini malah lebih parah dari biasanya. Biasanya mama hanya sedih setelah mereka kembali dari makam, tapi tahun ini bahkan mama sudah terlihat murung sejak seminggu sebelum hari H.

"Belum. Rey udah laper? Mbak-mbaknya udah siapin sarapan. Sarapan duluan aja," kata mama sambil mengelus bahu Rey.

Rey hanya menganguk sambil tetap duduk di samping mama. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu mamanya itu. Memang setiap hari libur seperti sekarang, mereka akan sarapan masing-masing, karena terkadang ia atau Mas Dimas akan memilih bangun siang kalau tidak ada acara apapun. Sepertinya pilihan tepat untuknya turun sekarang, karena mama terlihat kesepian sekali.

"Papa mana?"

"Lagi mandi. Rey ada acara? Tumben cepet turunnya," jawab mama sambil mengelus rambut Rey dengan lembut.

"Nggak ada. Rey nyariin Al. Belakangan ini Al kayak jauh banget," keluh Rey.

Mama mengerutkan alis, "Masa, sih?"

"Sekarang aja dia masih di kamar, padahal biasanya dia udah turun, kan, bantu-bantu mama masak?"

"Tapi, kan, mama nggak masak. Mungkin karena itu dia nggak turun," kata mama santai. "Bisa jadi juga dia masih nggak enak badan. Kemarin mama liat dia agak pucet."

Rey terkejut mendengarnya, "Serius? Kok aku nggak tahu?"

"Hmm, apa cuma perasaan mama, ya? Eh, tapi apa mama kemaren ketemu Al, ya?"

"Ck, kan. Kemarin dia di kamarnya doang, deh, kayaknya. Dia makan nggak, ya? Seharian aku nggak lihat dia keluar kamar," kata Rey gemas.

Mama tertawa kecil, membuat Rey mengerjapkan matanya terkejut. Ia langsung bangkit dari bahu mamanya untuk mengeceknya langsung. Wah, ia takjub. Rasanya ia sudah cukup lama tidak melihat mamanya tertawa seperti itu.

"Kamu tahu? Mama seneng, banget, Al datang ke sini. Dia benar-benar mengubah anak-anak mama jadi lebih perhatian satu sama lain. Padahal biasanya kalian liburan juga sibuk, tapi belakangan ini kalian selalu di rumah. Kalian juga jadi lebih hangat. Sadar, nggak?"

Hati Rey menghangat melihat binar di mata mamanya. Sejujurnya, terkadang ia berpikir mama hanya baik pada Al bukan benar-benar menyayanginya. Yah, bukannya ia meragukan kebaikan mama. Hanya saja, mama memang selalu baik pada siapapun. Mama bukanya tipe orang yang akan menunjukkan kalau ia tidak menyukai sesuatu atau seseorang. Akan tetapi, sepertinya mama benar-benar menyayangi Al, sama seperti mama menyayanginya dan Mas Dimas.

"Kan tahun kemarin aku Ketua OSIS, makanya sibuk," protes Rey.

"Iya, iya. Tapi dulu mana pernah kamu manja-manja gini sama mama?"

Rey menyipitkan matanya, "Oh, jadi nggak boleh? Al doang yang boleh?"

Mama mencubit kedua pipi Rey dengan gemas, "Siapa bilang? Dari dulu mama tuh pengen kalian manja-manja kayak gini. Kalian aja yang dingin banget sama mama."

Rey tersenyum saja melihat mamanya berlagak dramatis seperti itu. Ia bersyukur sepertinya kesedihan mama agak teralihkan dengan keberadaannya di sini. Untung ia turun tadi. Saat itulah matanya menangkap keberadaan Al di tangga yang sedang menatap mereka.

Ia tersenyum lebar menyapa adiknya itu, "Al!"

"Pagi, Ma, Bang," sapa Al balik sambil berjalan mendekati mereka. Anak itu berjalan mendekati mama, lalu memeluknya. Rey tidak ketinggalan ikut membuka lengannya, meminta adiknya itu memeluknya juga. Al memeluknya juga, tapi entah kenapa pelukan mereka terasa kaku, tidak seperti biasanya. Atau mungkin itu hanya perasaannya saja karena ia merasa Al agak berjarak beberapa hari ini?

AL WILL BE OKAYWhere stories live. Discover now