10

33.3K 3.2K 48
                                    

Hari ini Al ada pelajaran olahraga. Pelajaran yang paling tidak disukainya. Bukan karena Al tidak mahir, tapi karena ia tidak sanggup. Biasanya setiap setelah pelajaran olahraga, Al harus berjuang sendiri menahan sesak. Tidak ada yang mau peduli ataupun sekadar bertanya. Malah dulu teman-teman sekelasnya malah mengejeknya lemah, sedangkan ibu selalu marah setiap kali Al mulai sakit.

"Alvan!"

Al menoleh saat mendengar namanya dipanggil. Ia tersenyum saat melihat Devan berjalan menghampirinya mengenakan seragam olahraga lengkap.

"Kok lo siang berangkatnya? Tadi pas gue dateng kakak lo udah berkeliaran, tapi pas gue sampe kelas lo belum dateng."

Al ingat saat ia datang tas Devan memang sudah ada di tempatnya, tapi anak itu tidak kelihatan. Jadi ia pergi ke lapangan sendiri, karena bel masuk sudah berbunyi dan pelajaran pertama adalah olahraga. "Mama kemaren marah soalnya aku nungguin Bang Rey, terus pulangnya sore banget. Jadi hari ini Bang Rey berangkat sendiri. Kamu ke mana tadi, kok ngga ada di kelas?"

"Gue di kelas sebelah," jawab Devan. "Ngomong-ngomong, ngapain lo pake jaket mau olahraga? Nggak panas apa?"

"Panas," jawab Al jujur. Matanya menatap jaket yang dikenakannya di atas seragam olahraga dengan ragu. Ia ingin membuka jaketnya, tapi ia ragu melepas jaketnya di luar kelas. Biasanya ia bahkan selalu memakai kupluk jaketnya saat keluar dari kelas. Khawatir seseorang yang ditakutinya mengenalinya.

"Copot aja sih! Gue yang liatnya jadi gerah tau!" gerutu Devan gemas.

Al tertawa kecil mendengarnya, tapi ia tetap melepas jaketnya sesuai permintaan temannya itu.

"Lho, tangan lo kenapa?" tanya Devan saat Al melipat jaketnya dan meletakkannya di pinggir lapangan.

"Hmm ini yang jatuh kemaren. Waktu pulang udah bengkak, jadi di perban sama mama," jawab Al sambil tersenyum kecil. Ini hanya luka kecil, tapi ia ingat bagaimana kemarin keluarganya khawatir dan mama mengobatinya dengan lembut. Senang rasanya ada yang memperhatikannya seperti itu.

Devan mengerutkan alis mendengarnya. Saat jatuh kemarin? Maksudnya saat Dicky menyandungnya itu? Ia pikir saat itu temannya ini tidak terluka, karena saat mereka makan bersama pun ia tidak melihat Al meringis sedikitpun. Ia juga tidak melihatnya menggunakan tangan lainnya untuk menghindari penggunaan tangan yang sakit. Berarti Al menahan rasa sakitnya? Atau ia tidak merasa sakit?

Priitt... priiittt...

Suara peluit dari guru olahraga memgalihkan perhatian kedua anak itu. Mereka segera mendekati guru laki-laki yang membawa bola basket.

"Oke, Anak-anak, hari ini bapak akan mengambil nilai basket kalian, ya. Bapak akan membagi kalian pertim dan nilai kalian akan bapak ambil dari sana. Ada pertanyaan?" kata guru itu setelah beberapa kalimat pembuka.

Beberapa siswi ada yang mengeluh, tapi tidak ada yang protes. Al menatap tangan kanannya yang diperban dengan ragu. Tadi saja ia hampir dilarang masuk sekolah oleh mama karena keadaan tanganya ini. Ia diizinkan masuk setelah berjanji tidak akan terlalu banyak menggunakan tangannya. Bahkan jujur saja, tadi pagi ia sarapan dengan disuapi oleh mama.

Setelah itu Pak Yusril memerintahkan semua murid untuk melakukan pemanasan. Saat itulah Al mendekati guru itu dan mengatakan bahwa tangan kanannnya terkilir dan mungkin ia tidak bisa bermain basket dengan baik. Al mengharapkan senyum pengertian seperti yang biasanya diberikan oleh guru olahraganya saat SD saat Al mulai mengeluh sesak pada pelajaran beliau. Akan tetapi guru di hadapannyaini malah mengerutkan alisnya tidak suka. Membuat Al mengerut di tempatnya.

"Bukannya kamu anak beasiswa? Kalau kamu tidak ikut penilaian hari ini, saya tidak akan memberikan penilaian susulan. Terserah kalau kamu mau nilaimu berkurang," sahut guru itu dingin.

AL WILL BE OKAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang