3

42.5K 4.1K 42
                                    

"Nah, Al, itu papa kamu yang sebenarnya. Mulai sekarang kamu ikut sama dia, nggak sama ibu lagi. Jangan lupa, lho, anak sakit-sakitan itu nyusahin. Jangan sampai kamu dibuang lagi, soalnya rumah ibu ngga ada tempat lagi buat kamu. Hati-hati, ya, sayang."

Al hanya diam saat ibu memeluknya dan memberikan pesan untuk terakhir kali. Ia kini memandang laki-laki yang merupakan papanya itu dalam diam. Laki-laki itu memeluknya dengan erat pada pertemuan pertama mereka, bahkan mengatakan kalau ia menyayangi Al. Al jadi teringat pada Om Vian yang selalu memeluk Al kalau ada kesempatan. Al senang dipeluk. Dadanya sakit tadi karena ibu meninggalkannya sendiri, tapi papanya memeluknya dan mengatakan sayang. Apakah ia bisa merasakan seperti yang dirasakan kedua kakaknya di rumah? Bolehkah sekarang ia berharap?

"Uhuk uhuk..."

Al menutup mulutnya sambil memejamkan matanya, dadanya kembali terasa sesak. Pelukan papa terasa hangat, tapi udara di sini dingin. Tangannya sendiri masih memeluk bungkusan hadiah yang diberikan ibu tadi. Sebenarnya pelukan papa yang agak terlalu erat itu membuatnya sakit, tapi Al senang dipeluk, jadi ia tidak mengeluh.

"Al sakit?"

Al kini menatap mata papanya yang terlihat khawatir mendengarnya batuk, tapi Al menggeleng. Kata ibu kalau sakit merepotkan. Ia tidak mau merepotkan papa yang baru ditemuinya. Ia masih bisa menahan sesak yang dirasakannya sekarang. Kalau ia benar-benar tidak kuat, baru ia akan bilang. Kalau itu terjadi, apa nanti papa akan mengusirnya juga? Karena ia merepotkan? Menghabiskan banyak uang? Al takut dibuang lagi.

"Tadi Al agak kehujanan, ya? Gimana kalau masuk angin? Kita pulang aja deh, yuk. Al mau ke rumah papa ya?"

Meskipun agak bingung dengan ocehan papa, Al mengangguk. Ia tidak mau papa kesal kalau ia banyak bertanya. Dengan santai, papa berdiri sambil menggendong Al di pelukannya. Al kini harus berpegangan di leher papa kalau tidak mau jatuh. Sebelah tangannya masih memeluk hadiah dari ibu kuat-kuat.

"Devi, saya pulang sekarang ya. Kalau ada yang cari suruh besok aja. Kalau urgent telpon aja ya."

Wanita yang tadi mengizinkan ibu masuk mengangguk mengerti, lalu tersenyum pada Al. Ragu-ragu, Al tersenyum juga padanya. Seolah mendapat izin, wanita itu melambaikan tangannya pada Al, jadi mau tidak mau Al melepaskan pegangan pada papa lalu membalas lambaian wanita itu.

Papa yang melihatnya tersenyum gemas, lalu mencium pipi Al. "Itu tante Devi. Adiknya mama. Nanti di rumah papa ada mama sama kakak-kakak. Al yang akur sama mereka ya?"

Al mengangguk pelan. Ia menyandarkan pipinya di bahu papa yang terasa nyaman. Sudah berapa lama, ya, ia tidak digendong begini?

➰➰➰

Zeith mengelus rambut bocah 13 tahun di sebelahnya itu. Tadi di perjalanan Al tertidur. Zeith hanya bisa menahan gemas melihatnya tidur dengan wajah imut begitu. Pandangannya terarah pada bungkusan yang dipeluk anak itu sejak tadi. Saat melihat Al rertidur tadi, ia berniat memindahkan bungkusan itu ke kursi belakang, tapi Al malah memegangnya semakin erat. Membuat Zeith penasaran apa isi bungkusan itu.

"Al, udah sampai rumah, Sayang. Al mau papa gendong aja?"

Tidak berapa lama, kelopak mata anak itu bergerak. Zeith tersenyum melihatnya. Anaknya benar-benar menggemaskan. "Papa, udah sampai?"

"Udah. Tunggu ya, papa bukain pintu buat Al," kata Zeith sambil keluar dari mobil. Ia memutari mobil untuk membukakan pintu untuk anaknya itu.

Saat Zeith membukakan pintu, ia melihat Al terdiam menatap rumah yang akan ditinggalinya. Membuat Zeith bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan anak itu. Sayangnya sebelum ia sempat bertanya, Al sudah mengalihkan pandangan kepadanya kemudian memberikannya senyuman tipis lalu turun dari mobil. Zeith menggandeng tangan anak itu menuju ke rumah. Ia tersenyum melihat di sana sudah ada istri dan kedua anaknya menunggu. Ia memang sengaja meminta Rey dan Dimas untuk langsung pulang setelah selesai sekolah agar bisa langsung bertemu dengan adik baru mereka.

AL WILL BE OKAYWhere stories live. Discover now