1

79K 4.3K 154
                                    

Zinnia mengerutkan alis saat melihat meja dapur masih kosong. Wanita yang baru saja pulang kerja itu menarik napas tajam menahan kemarahannya. Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju kamar di sebelah dapur yang merupakan gudang. Dibukanya pintu dengan kasar sampai anak laki-laki berusia 12 tahun di sana terlonjak kaget.

" I, Ibu? Sudah pulang?"

Tanpa menjawab, Zinnia berjalan kesal ke arah anak itu, lalu menarik rambutnya keras. "Emang kamu pikir saya siapa, hah?! Kenapa kamu belum siapin makan?? Sebentar lagi suami saya pulang. Kamu mau dibikin babak belur lagi?"

Anak itu menggeleng cepat, "Maaf bu, aku lagi nggak enak badan."

Zinnia membuang napas kasar, "Sakit lagi? Dasar ngerepotin. Kamu pikir alasan kamu sakit bisa diterima di dunia ini? Kamu tahukan, orang sakit itu nggak berguna, yang ada cuma nyusahin. Kalau nggak mau diusir sekarang juga, cepat buat makan sekarang. Ngga ada yang peduli sama sakitmu itu."

Anak itu menelan ludahnya sambil sesekali terbatuk. Nafasnya terasa sesak sejak kemarin dan ia baru mencoba berbaring sebentar setelah membersihkan seluruh rumah besar itu. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju dapur dan memulai kegiatan memasaknya. Menyakitkan sekali rasanya, saat nafasnya sedang satu-satu begini ia harus tetap menguatkan diri agar tidak diusir.

Kalau diusir, ke mana lagi ia akan pulang? Ia tidak mengenal keluarganya satupun karena setiap ada pertemuan keluarga ia dikurung di dalam kamarnya yang merupakan sebuah gudang. Ia tidak bisa minta tolong pada siapapun karena ia tidak dekat dengan siapa-siapa. Dengan keadaannya yang penyakitan ini juga pasti tidak ada yang mau merawatnya. Karena, bahkan ibunya saja menolaknya mentah-mentah.

Saat ia hampir menyelesaikan masakannya, terdengar suara pintu depan terbuka.  Tangannya yang menggenggam spatula menjadi kaku. Ia tahu yang datang adalah kakaknya, terbukti dari suara ibu yang menyambut dengan ceria. Ia buru-buru menuangkan sayur yang dimasaknya ke mangkuk dan meletakkannya di meja sebelum kakaknya datang menghampirinya.

"Makan apa kita, bu?"

Suara laki-laki remaja mendekat ke arah dapur. Anak itu langsung berlari menuju kamarnya dan menutupnya. Kemarin ia ditendang habis-habisan oleh kakaknya hanya karena muncul di hadapannya. Ia masih sakit, nafasnya sesak, ia tidak mau mencari masalah walaupun perutnya terasa lapar dan ia juga ingin diberikan senyum manis oleh ibu seperti yang didapatkan oleh kakaknya.

Kenapa ia tidak pernah mendapatkannya padahal ia yang lebih sering membantu ibu? Ia yang lebih sering disuruh oleh ibu mengerjakan pekerjaan rumah, kenapa ibunya tetap tidak menyayanginya? Apa karena ia penyakitan? Tapi ia juga tidak mau sakit. Rasanya tidak enak dan tidak ada yang mau memeluknya saat ia sedang kesakitan. Yang ada malah ayah dan ibunya memakinya seolah ia beban yang seharusnya tidak ada di dunia ini.

Padahal dulu guru sekolahnya berkata kalau seorang ibu pasti menyayangi anaknya. Kenapa ia tidak disayangi? Apa ia bukan anak ibu? Atau beginilah cara ibunya menyayanginya? Tapi kalau begitu, kenapa cara ibu memperlakukan kakaknya berbeda?

***

Namanya adalah Alvan Athalaric, bungsu dari tiga bersaudara, tapi selalu diperlakukan semena-mena. Dulu saat ia masih kecil, ada Om Vian yang selalu menghiburnya kala menangis sehabis dimarahi oleh ibu. Om Vian juga yang selalu memeluknya saat ia sakit. Om Vian jugalah yang saat itu melarikannya ke rumah sakit saat penyakitnya pertama kali muncul. Baginya, Om Vian adalah pahlawannya. Tapi kini Om Vian sudah pergi. Kata bu guru, orang baik disayang oleh Allah, jadi Allah panggil Om Vian duluan. Karena itulah sekarang Al selalu belajar menjadi anak baik, agar ia bisa selalu mendoakan Om Vian. Serta agar Allah juga menyayanginya dan memanggilnya lebih cepat.

AL WILL BE OKAYWhere stories live. Discover now