39

16.6K 1.8K 87
                                    

Al terdiam menatap rumahnya. Tadinya Devan berkata akan mengantarnya masuk, tapi Al mencegahnya. Kalau Devan mengantarnya sampai dalam, ia pasti akan menceritakannya pada keluarganya yang lain, sedangkan sejujurnya Al tidak ingin ada yang tahu tentang hal ini. Tadi saja ia berhasil membujuk Devan dan Dean untuk tidak membawanya ke rumah sakit Uncle Valdi.

Baru sesaat ia berdiri di sana, pintu pagar terbuka. Pak Mul membukakan pagar untuknya. Memang kalau tidak sedang menjadi supir, Pak Mul dan supir lainnya sering menjadi satpam dadakan. Bukan karena papa tidak sanggup membayar satpam, melainkan karena para supir itu juga di-hire untuk menjadi bodyguard. Karena itulah papa tidak membayar satpam lagi untuk menjaga rumahnya.

"Tuan muda sudah pulang? Kenapa nggak minta dijemput aja?" tanya Pak Mul dengan ramah.

Kalau ia tidak sengaja mendengar beberapa ART yang bergosip tentang latar belakang Pak Mul, mungkin selamanya Al hanya akan menganggap Pak Mul sebagai lelaki paruh baya yang ramah. Al mengeratkan jaket Devan di lehernya, "Al dianter Devan."

Pak Mul tersenyum, "Pintu depan dikunci, Tuan muda. Mau saya bukakan pintunya dulu?"

Al menggeleng, "Lewat belakang aja."

Tanpa menunggu jawaban dari Pak Mul lagi, Al berjalan menuju pintu dapur. Biasanya para ART masuk ke rumah lewat sana, karena pintu depan memang sering dikunci. Karena pintu depan dikunci menggunakan selot dari dalam, pasti lama kalau harus menunggu Pak Mul membukakan pintu.

"Oh, Tuan muda? Selamat datang," sapa Bi Lela saat Al membuka pintu dapur.

"Yang lain mana?" tanya Al pelan, lehernya masih terasa sakit untuk berbicara.

"Nyonya menemain tuan ke perusahaan, sedangkan tuan muda yang lain ada di kamar masing-masing," jawab Bi Lela.

"Makasih," kata Al pelan sebelum berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Seluruh keluarganya memiliki kamar di lantai dua. Awalnya Al heran kenapa, tapi Bang Rey menjawab bahwa lantai dua merupakan wilayah keluarga. Biasanya tamu tidak diizinkan untuk naik ke lantai dua, tapi beberapa tahun ini lebih longgar. Mas Dimas bahkan sering membawa teman-temannya ke kamarnya.

Begitu sampai di kamar, Al menutup pintu rapat-rapat. Hari masih terang, Al bahkan tidak perlu menyalakan lampu karena sinar matahari masuk melalui balkon. Ia melepaskan jaket Devan dari lehernya, lalu menatap cermin besar yang ada di lemarinya. Ia mengeluh dalam hati melihat bekas cekikan itu berubah menjadi memar. Al mengeluarkan obat-obatan yang diresepkan dokter tadi. Ia mengambil salep untuk memarnya, kemudian memakainya di lehernya. 

Al mengerutkan alisnya saat lehernya terasa sakit karena ia mendongak. Ia kemudian mengambl obat minum dna meminumnya dengan bantuan air yang selalu tersedia di kamarnya. Al mengambil obat asmanya yang diberikan oleh Uncle Valdi beberapa waktu lalu, menimbang-nimbang apakah ia harus meminum ini juga, atau nanti saja?

Akhirnya Al memutuskan untuk meminumnya juga. Toh, nafasnya memang terasa agak tidak nyaman, meskipun mungkin alasannya bukan karena asma. Setelah meminum obatnya, Al membaringkan tubuhnya di kasur, menarik selimutnya, lalu memilih tidur.

➰➰➰

"Al belum pulang, ya, Ma?"

Mama yang sedang menata mekanan di meja makan berhenti. Ia meluruskan tubuhnya dan mengernyitkan alis, "Udah, kok. Mama inget tadi Bi Lela ngabarin mama kalau Al udah pulang."

Dimas mengerutkan alisnya, "Kok aku belum liat dia? Apa Al ada di kamarnya?"

"Kemungkinan besar," jawab mama sambil beranjak menuju dapur, "coba aja dicek, Mas. Sekalian diajak turun, kita makan bareng-bareng."

AL WILL BE OKAYWhere stories live. Discover now