15

27.3K 2.8K 92
                                    

Selamat membaca⚘
➰➰➰

Sudah hampir sebulan Al sekolah di sekolah ini dan ia belum mendapat teman selain Devan dkk. satupun. Padahal nilai ulangannya tidak ada yang di atas angka 80, tapi semua masih percaya Al adalah anak beasiswa. Terkadang Al heran juga bagaimana cara mereka menggunakan logika mereka.

"Lo udah ngerjain PR?" tanya Devan yang baru datang.

Al menggeleng tidak peduli. Sebenarnya sudah ia kerjakan, tapi ia masih pada tahap membangun image buruk, jadi ia berniat untuk menyimpan PR yang sudah dikerjakannya. Pura-pura lupa dan tidak peduli.

"Eh? Kok belum? Nanti lo dihukum, lho. Pelajaran matematika masih lama, nih, liat punya gue aja," tawar Devan segera.

"Nggak usah. Biarin aja," jawab Al dengan nada malas.

Cowok di depannya itu menatap Al dengan pandangan tidak terbaca, tapi tidak berkomentar lebih lanjut.

Benar saja, saat pelajaran matematika, Pak Len, guru matematika yang terkenal galak langsung menghukum Al berlari keliling lapangan sebanyak 10 kali. Al tidak membantah meskipun cuaca di luar sedang sangat panas karena matahari sudah cukup tinggi. Ia berlari dengan pelan mengelilingi lapangan sampai ia benar-benar lelah. Setelah lelah, Al berjalan menuju pinggir lapangan dan duduk di situ mengistirahatkan dirinya.

Ia termenung menatapi atap gedung di hadapannya. Entah kenapa, firasatnya hari ini tidak enak. Hal itu membuatnya malas melakukan apapun. Bahkan di kelas tadi ia hanya diam memperhatikan guru yang menerangkan tanpa peduli apakah yang diterangkan oleh guru itu ia mengerti atau tidak. Celotehan Devan juga diabaikan olehnya. 

Ini pertama kalinya Al merasa seperti ini. Dulu, Al terlalu sibuk untuk melewati hari mejauh dari rasa sakit apapun. Pagi hari ia memasak, kemudian mencari uang, kembali ke rumah membersihkan rumah, lalu memasak lagi. Al berusaha melakukan semuanya sesegera dan sebaik mungkin hingga tidak ada alasan bagi keluarganya untuk marah padanya lalu menyakitinya. Walaupun apapun yang Al lakukan, ia tetap salah di mata mereka. Mungkinkah sekarang ia mulai manja?

Al menghela nafas saat pikiran itu melintas.

"Al? Ngapain di sini?"

Al menoleh mendengar namanya disebut. Ia tersenyum pada abangnya itu. Bang Rey mendekat lalu berjongkok di hadapannya. Tangannya bergerak menyapu keringat di dahi Al. Adiknya itu terlihat kelelahan. Apa Al barusan dihukum? Tapi adiknya ini salah apa?

"Al nggak belajar?"

"Al lagi dihukum," jawab Al ragu-ragu. Ia bahkan tidak berani menatap wajah abangnya itu.

"Kenapa?"

"Al nggak ngerjain PR."

Rey mengerutkan alis mendengarnya, "Heh? Kok bisa? Bukannya semalem ngerjain sama Abang?"

Al gelagapan mendengarnya. Benar, semalam ia belajar di kamar abangnya. Meskipun bukan mengerjakan PR matematika ini. "Al lupa ada PR ini," jawabnya pelan.

"Al... abang serius nanya, nih. Al kesusahan nggak belajar pelajaran di sini?" tanya Rey sambil menatap Al dengan tajam. Ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman belakangan ini dan itu terkait dengan adik kesayangannya ini.

"Ng... nggak juga," jawab Al gugup. Ia jadi bertanya-tanya apa yang ingin dibahas abangnya ini. Selama ini Bang Rey hanya bersikap serius seperti ini jika menyangkut kesehatannya.

"Al yakin nggak susah?" tekan Bang Rey lagi.

"Su-susah dikit sih, Bang," ralat Al, ia menduga Bang Rey melihat hasil ulangan hariannya, karena itu bertanya seperti itu.

AL WILL BE OKAYजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें