9

31.3K 3.5K 68
                                    

"Hey, mau ke kantin nggak?" tanya anak di depannya yang tadi menolongnya.

Al menggeleng, "Aku bawa bekal."

Anak -yang entah siapa namanya- yang duduk di sebelah Al tampak mengernyit, "Jangan makan di kelas, ya. Bikin bau!"

Al diam menatap anak itu, cukup lama hingga hampir membuat anak itu salah tingkah, lalu mengangguk tanpa protes. Ia memikirkan di mana ia akan memakan bekalnya. Mungkin ia perlu mengelilingi sekolah ini untuk mencari tempat yang bagus. Tapi membayangkan keluar kelas sebenarnya Al tidak berani. Ia takut bertemu dengan Kak Bima di sekolah.

Anak di depannya berdecih, membuat Al menoleh kembali padanya. Anak itu berdiri dan menatap Al balik, "Mau ikut, nggak? Gue tahu tempat yang asik."

Meskipun ragu, Al mengangguk. Anak itu belum melakukan hal jahat padanya, jadi Al mencoba untuk memercayainya. Hal itu lebih baik dari pada ia berkeliling tidak tahu arah di sekolah ini. Ia tidak mau mencari masalah. Al mengikuti anak itu keluar kelas setelah membawa bekalnya. Begitu keluar dari kelas, Al memakai kupluk jaketnya. Ia berjalan sambil menunduk, sehingga tidak sadar sejak tadi ia diperhatikan oleh anak yang mengajaknya itu.

Mereka berjalan ke arah kantin. Al menguatkan pegangannya pada bekalnya melihat semakin banyak siswa yang berlalu lalang. Apa anak ini hendak mengajaknya makan di kantin? Baru saja pikiran itu muncul, langkah anak itu berbelok ke arah auditorium. Tidak terlalu jauh dari kantin.

"Nah, di sini. Deket sama kantin, tapi sepi," kata anak itu sambil menunjuk ke tempat di samping auditorium. Tempat itu tidak luas, hanya jalan kecil yang muat untuk dilewati satu mobil. Di sebelah kiri terdapat lahan kecil yang ditumbuhi berbagai macam sayuran.

"Kok tempat ini sepi?" tanya Al curiga.

Anak itu mengangkat bahu. "Karena ini dekat sama SMA? Katanya anak SMP ngga berani deket-deket sama anak SMA. Takut dibuli kayaknya. Hahaha."

Al agak mengernyit mendengar alasan yang terdengar dibuat-buat itu. "Kamu nggak takut?"

"Kakak gue anak SMA sini. Ngapain takut?" balas anak itu.

"Siapa nama kakak kamu?" tanya Al spontan. Ia berpikir mungkin ia bisa bertanya pada Mas Dimas di rumah nanti. Tapi ia jadi teringat bahwa ia bahkan tidak tahu nama anak itu. "Nama kamu siapa?" tambahnya dengan malu.

Anak itu tertawa mendengar pertanyaan Al. "Nama gue Devan. Nama kakak gue rahasia. Apa lagi? Ah, ngomong-ngomong lo bisa duduk di sini."

Al menatap anak itu dari atas ke bawah, lalu ke arah kursi panjang di dekat lahan itu yang ditunjuk oleh Devan. "Terus kamu makan apa?"

Lagi-lagi, anak dengan rambut berantakan itu tertawa, "Ini gue mau ke kantin dulu. Lo tunggu di sini bentar, ya!"

"Oke," balas Al tanpa protes. Ia duduk di kursi panjang yang tadi ditunjuk oleh Devan saat anak itu berlari ke arah kantin.

Setelah bosan menunggu, Al mencoba membuka bekalnya. Sedikit nasi putih dengan beberapa perkedel, nugget, dan banyak kentang goreng. Ada saus sachet diselipkan di pinggir kotak makan. Senyum Al mengembang melihatnya. Ia tidak sarapan banyak tadi pagi, jadi agak lapar siang ini. Mungkin karena melihatnya malas makan nasi, mama juga menambahkan banyak kentang goreng untuknya.

"Lho, Al?"

Al tersentak kaget mendengar namanya disebut. Ia menoleh dan melihat Mas Dimas membawa banyak gelas plastik yang sepertinya berisi jus mendekatinya dari arah kantin. Al menutup kembali bekalnya dan tersenyum ke arah Mas-nya itu. Mas Dimas meletakkan kantong plastik berisi jus yang dibawanya di samping Al. Mas-nya itu menurunkan tudung jaket yang sejak tadi belum diturunkan lagi oleh Al. 

AL WILL BE OKAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang