230 114 259
                                    

🍃

Nenek pulang sekitar pukul delapan malam. Letih membayangi mata sendunya.

Aku tau Nenek butuh istirahat. Tapi aku tidak bisa menunggu sampai besok pagi. Ada yang perlu aku tanyakan pada Nenek.

Aku mengambil kardigan rajut yang Nenek lepaskan. Senyum kecil mengembang saat Nenek menatapku. "Kenapa kamu belum tidur sayang?"

"Ada yang mau aku tanyakan Nek," jawabku.

Nenek kembali menatapku. Matanya berkedip beberapa kali. Menghela napas berat, Nenek menggenggam tanganku, menarikku untuk duduk di sampingnya. Tangan itu terasa hangat.

Nenek memejamkan mata. Aku bisa menebak, di dalam pikirannya, Nenek melihat apa yang terjadi padaku hari ini.

Beberapa detik setelahnya, Nenek membuka mata. Kabut putih membayangi retina Nenek. Mengerjap beberapa kali, kabut itu hilang digantikan coklat gelap. "Sudah saatnya sayangku, sudah waktunya," ujarnya pelan. Suara Nenek sedikit parau.

"Makhluk itu, punya sesuatu yang bisa dimanfaatkan." Nenek mengusap pipiku, "jika kita yang memegang kendalinya," sambung Nenek sambil menarik tangannya.

"Jadi maksud Nenek, makhluk hitam itu bisa dimanfaatkan? Jika kita yang mengendalikannya?" tanyaku memperjelas maksud dari perkataan Nenek. 

Nenek mengangguk pelan, "iya." 

Menaikkan sebelah bahu, aku mengernyitkan kening. "Makhluk apa sebenarnya itu Nek? Dari mana mereka berasal?" 

"Overflow." Nenek mendesah pelan, "mereka dari tempat yang terbengkalai, tanpa cahaya. Hanya asap putih tipis yang menjadi penerang dimensi gelap mereka." Nenek mengangkat satu tangan ke udara, "ada satu pohon di sana, tanpa daun. Hanya ranting-ranting kering yang meneteskan tinta gelap. Tetesan itu meletup-letup di atas tanah seperti larva hidup. Perlahan, sihir menutrisi tetesan itu."

Nenek melebarkan matanya, memberikan efek dramatis. "Ketika portal terbuka, di antara yang kuat keluar untuk mencari lebih banyak lagi sihir. Mereka parasit, makhluk tamak yang tidak pernah bisa puas." Mata lelah itu berubah fokus, menatapku tajam.

Aku mengusap pergelangan tanganku. Mendengarkan perkataan Nenek saja sudah membuatku merinding. "Tapi, dari mana datangnya tetesan itu?"

Garis bibir Nenek tertarik tegas. "Kejahatan menumbuhkan tinta itu. Keputusasaan, kemarahan, kesakitan, kesombongan, ketidakpedulian, penindasan, ketidakadilan, semua energi negatif yang menciptakan kekacauan dan hal-hal buruk." Nenek kembali mendesah pelan, "sayang, seperti itulah dunia. Sisi gelapnya ingin membuat kita mati rasa, ingin membuat kita menyerah sebelum mencapai tujuan. Tapi kita harus terus berjuang agar kita bisa meneruskan kehidupan tanpa adanya penyesalan di kemudian hari." Sorot mata penuh kasih sayangnya membuatku menarik senyum kecil.

Berbicara dengan Nenek akan selalu meninggalkan nasihat.

Menggaruk kepala, aku teringat note yang Nenek letakkan di pintu kulkas. "Oh iya, bagaimana portal barat Nek?"  tanyaku sambil memijat tangan Nenek.

Nenek tertawa pelan. "Mereka ingin memperbesar kapasitas kunjungan perhari. Dari yang awalnya 50 orang, menjadi 100 orang." Nenek mengangkat sebelah bahunya. "Alexander seperti biasa, bertindak sebagai pebisnis. Jika mereka bersedia meningkatkan pajak kunjungan, dia akan menyetujui penambahan kapasitas."

Alexander Bartholow, merupakan anak dari Thomas Bartholow, sang penemu kota ini.

Portal barat sering bermasalah. Makhluk-makhluk barat menyukai kebebasan gaya hidup, setiap beberapa bulan pasti ada saja ulah mereka. Berbeda dengan timur, yang masih konservatif.

ϲ Ӏ ɑ ղ ժ ҽ Տ Ե í ղ ҽWhere stories live. Discover now