131 83 187
                                    

🍃

Denzel berjinjit, ia mengangkat tangan ke atas, menyentuhkan telunjuknya pada lentera cembung yang terletak di plafon.

Aku pikir, plafon rumah akan berada tepat di kepalaku. Perabotan di dalam rumah berukuran mungil dan ruangan di dalam batang pohon akan terasa sempit.

Namun aku salah.

Melihat sekeliling, ruangan ini tampak lapang. Di sudut sebelah kiriku, ada satu sofa ukuran sedang, dan meja kecil di sampingnya. Tangga yang aku lihat di dekat pintu, mengarah pada ruangan di lantai atas. Menengadah, aku melihat langit-langit berjarak satu meter dari atas kepalaku.

Berpaling ke sisi kanan, aku melihat ada siluet gambar di dinding sana. "Siapa yang tinggal di sini?" tanyaku sambil melangkah ke arah dinding.

Ternyata gambar itu adalah lukisan keluarga. Sepasang suami istri yang tampan dan cantik, masih terlihat muda, dan satu bayi di dalam pelukan kedua orang tuanya.

 Sepasang suami istri yang tampan dan cantik, masih terlihat muda, dan satu bayi di dalam pelukan kedua orang tuanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Source: Pinterest)

"Makhluk Sweven," jawab Denzel.

Menoleh, aku melihatnya duduk di atas sofa. Kembali berpaling menatap lukisan di depanku, keningku berkerut melihat telinga runcing itu. "Makhluk apa mereka?" tanyaku tanpa berpaling dari lukisan.

"Mereka bangsa Elf. Awalnya aku pikir mereka peri."

Berputar, aku berjalan ke arah Denzel. "Apa bedanya?"

Dia menunjuk punggungnya. "Peri memiliki sayap, elf tidak."

"Oh," gumamku pelan.

Duduk di samping Denzel, aku menyandarkan punggung ke sandaran sofa yang empuk. "Lalu ke mana mereka?" Aku masih melirik lukisan yang terpampang pada dinding di depanku.

"Mereka pindah ke wilayah hutan kabut." Jawaban Denzel membuatku memalingkan wajah ke arahnya.

Regen juga pergi ke hutan mistis. Mengerucutkan bibir, aku membayangkan hutan itu dipenuhi oleh makhluk-makhluk mitologi.

Seperti elf si pemilik rumah ini. "Kenapa mereka pergi meninggalkan rumah ini?"

Denzel mengangkat bahunya. "Entahlah. Miriam bilang, mereka tidak suka dengan kaum psikis. Menurut mereka, sihir kita aneh."

Aku memutar bola mata mendengar nama Miriam disebutkan. Entah mengapa, aku merasa ada yang dia sembunyikan dari percakapan kami tadi.

Aku jadi teringat hal lain. Percakapan yang kita lakukan sebelum pria teleportasi itu datang. "Jadi, benar kamu adikku?"

Denzel menoleh, seringaian kecil tertarik di bibirnya. Jari telunjuknya mengarah padaku. "Jika benar kamu kakakku..." ujarnya sedikit terbata. "Dan Nenek Rose adalah nenek kita..."

Tawa tercekat keluar dari mulutku. "Apa kamu pernah bertemu Nenek?" Denzel menggeleng cepat. "Tidak secara langsung. Sekali-kali, Nenek datang ke dalam mimpi." Para Clair bisa masuk ke dalam celah mimpi, namun mereka tidak bisa berkomunikasi di sana.

ϲ Ӏ ɑ ղ ժ ҽ Տ Ե í ղ ҽWhere stories live. Discover now