2̸4̸

122 54 122
                                    

🍃

Deburan ombak menghempas batu karang. Batu itu memecah gelombang air laut. Menciptakan dinding dari buih putih selama sepersekian detik di udara.

Semilir angin pantai menerbangkan rambutku, membuatku menyisir rambut ke belakang telinga dengan jari-jari tanganku. Rambut itu kusut, jadi aku tarik paksa jari-jariku. Aku tidak melihat helaian yang rontok, yang mungkin akan ada jika aku di Bartholow.

Pohon kelapa menjulang tinggi di sekelilingku. "Di mana kita?" tanyaku, sudut mataku melirik Delton. 

Pria Elf menoleh, membalas tatapanku. "Beberapa meter ke arah timur, kita akan memasuki area pasar."  

Posisi kami memanjang, seperti barisan siap tempur saja. Aku maju beberapa langkah, lalu berpaling menghadap Delton. "Apa rumah penyihir itu di pasar?"

Delton menggelengkan kepalanya. "Tidak, rumahnya di seberang bukit itu. Kita pergi ke tokonya." 

Mengikuti arah tunjuk Delton, aku berpaling ke balik bahu. Bentangan bukit hijau terlihat beberapa puluh kilometer, ke arah selatan.

"Joel, pergilah jemput Camila. Biar kamu bisa cepat kembali ke sini," ujar Havi.

"Baiklah!" balas Joel.

"Jangan lupa jubahmu," ucap Delton cepat. "Dan pinjam satu punya Camila, untuk Aura."

Joel menganggukkan kepalanya, lalu dia langsung menghilang.

Aku menatap Havi dengan kening berkerut. "Kita akan menunggu Joel?" Havi menggelengkan kepalanya. "Aura akan menunggu Joel," ujarnya.

Aura yang mendapatkan perintah, malah mendengus. "Kenapa aku?"

Havi menoleh ke samping kirinya, melirik Aura yang sedang merengut. "Sienna, aku dan Delton memiliki urusan dengan penyihir," jelas Havi.

Delton bergumam setuju. Senyum kecil tertarik di sudut bibirnya.

Oh, siluetnya membuatku kehabisan napas. Meskipun aku tidak bernapas, tapi aku tidak tahu ungkapan apa yang cocok menggambarkan momen di saat aku melihat mata jernih itu.

Cahaya matahari dari pantai membuat wajahnya tampak lebih berkilau. Rambut pirang putih sebahunya berkibar, dikibaskan angin laut. Memperlihatkan telinga runcing itu. Aku tidak memperhatikan detail wajahnya, namun sekarang, terpana bukan kata yang tepat.

Aku terpesona dengan kilau alami wajah dan sihirnya. Sesuatu dalam warna aura itu membuatku terhipnotis. Warna terang itu seperti cahaya yang menambah estetika dalam siluet wajah menawan itu.

"Kita tidak akan lama," ujar Delton.

Suara itu membuatku menggelengkan kepala dengan pelan, melunturkan khayalanku.

Delton menatap Aura. "Nanti jika Joel sudah kembali ke sini, kau ikuti saja jalan setapak ini. Kalian akan melihat keramaian di sana." Delton mengambil napas dalam sebelum melanjutkan kalimat. "Jangan melakukan teleportasi. Orang-orang di sini akan kebingungan dengan sihir psikis yang kalian miliki. Pasar akan heboh. Kita tidak boleh menarik perhatian siapapun, terutama musuh."

Aura menganggukkan kepalanya.

Delton melepas cincin di jari kelingkingnya. Aku melihat batu safir menghiasi cincin itu. Lalu ia mengulurkan tangannya, memberikan cincin itu pada Aura. "Tunjukkan cincin ini pada toko roti kedua dari sisi kiri kalian masuk. Tunggu saja kami bertiga di sana. Jika orang-orang di sana ada yang bertanya saat melihat kalian berdua, bilang saja kalian tamu Kerajaan Arcelia. Jangan ungkap identitas asli kalian."

Aku menelengkan kepala, melirik Delton dengan sorot curiga. Kenapa rencana ini lebih serius dari yang aku bayangkan. Jika menyangkut dengan identitas rahasia, itu tandanya bahaya!

ϲ Ӏ ɑ ղ ժ ҽ Տ Ե í ղ ҽHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin