1̸5̸

116 60 126
                                    

🍃

Butiran salju menumpuk di atas kepalaku. Mengibaskan rambut dengan tangan, aku merasakan dingin pada jari-jariku.

Suhu udara yang sangat dingin, membuat lututku bergetar. Seharusnya di Sweven ada Mall. Entah bagaimana aku mendapatkan uang, aku akan membeli sweater tebal, sehingga aku bisa keluar menikmati salju.

Atau, minimal aku bisa mengganti pakaianku.

Seragam sekolah dan kardigan tipis ini tidak mampu memberiku kehangatan.

Apa Lillian bisa mengganti pakaianku? Dia penyihir. Pasti dia bisa melakukannya!

"Aku capek, nggak bisa teleportasi," ujar Denzel, terdengar letih.

Menatap sekelilingku, hutan ini dikelilingi oleh pohon Pinus. Namun satu pohon yang mencuri perhatianku, pohon Oak raksasa yang menjulang tinggi. Cahaya matahari sore tertutupi dahan dan batang pohonnya yang besar.

Tempat ini terlihat familiar.

Aku melirik Regen dari sudut mata.

Senyum kecil tertarik di sudut bibirnya. "Apa mereka tahu kita kembali ke Sweven?" Pertanyaan Regen di luar perkiraanku.

Aku mengangkat bahu. "Entahlah." Kembali meluruskan pandangan, aku melihat Denzel berjalan menyusuri jalan setapak. "Jika mereka tahu, sebentar lagi mereka akan ke sini," imbuhku.

Sedikit berlari kecil, salju berderik pelan di bawah tapak sepatuku.

"Kita di mana?" tanyaku, sedikit bersorak.

Denzel berhenti, lalu berpaling dari balik bahu, "entahlah." Ia mengangkat bahunya.

"Ikuti saja jalan setapaknya," ujar Regen. Suara itu terdengar dekat.

"Apa di sini kamu nemuin aku?" tanyaku tanpa menoleh.

Kami terus melangkah, menyusuri jalan setapak. Pada kedua sisi jalan, aku masih melihat rumput semak di sela-sela salju.

"Iya. Di balik pohon Oak raksasa itu."

AH! Pantas saja terlihat familiar.

Aku dalam keadaan tak berdaya waktu itu!

Regen datang menyelamatkanku! Tapi, bagaimana dia bisa tahu aku di sana?

Mengingat pertanyaan itu, aku menghentikan langkah.

Regen menabrak tubuhku, membuatku terdorong ke depan. Sebelah tangannya terulur, menangkap pinggangku.

Sebenarnya, aku juga tidak akan terjatuh. Mungkin gerakan tangannya reflek saja.

"Maaf," ujarnya kikuk, sambil melepas tangannya dari tubuhku.

Meringis tanpa bersuara, aku merasa malu untuk berbalik.

Tapi kenapa dia menabrakku? Apa sedekat itu Regen berjalan di belakangku?

Ught!

Tawa kecil itu terdengar tercekat. "Aku nggak lihat ke depan tadi."

Sekitar empat meter, aku melihat Denzel memutar tubuhnya. "Jauh nggak dari rumah kamu? Aku capek banget, sumpah!"

Wajah imut itu benar-benar terlihat lelah.

Baru aku sadari, aku tidak bisa melihat pendar energi!

Berpaling menatap Regen, aku mengangkat sebelah alis. "Apa kamu juga kehilangan energi?"

Regen mengernyitkan keningnya.

Sesaat kemudian, tangan yang tampak kekar itu terangkat di udara. "Kamu lihat sesuatu?" Ia menekuk jari-jarinya, namun tidak ada apapun yang tampak di mataku.

ϲ Ӏ ɑ ղ ժ ҽ Տ Ե í ղ ҽWhere stories live. Discover now