149 88 201
                                    

🍃

Aku tidak perlu menahan napas di sini. Hidungku hanya aksesoris, bukan untuk menghirup udara. Denzel masih menatapku tanpa berkedip.

Membalas tatapan polos itu, aku menggaruk kepala. "Nenek?" tanyaku pelan. Apa mungkin Denzel sepupuku?

Denzel menoleh dari balik bahunya.

Regen duduk di tempatnya semula, di dekat perapian. Tangannya masih bergerak-gerak. Aku melihat sulur indigo berpendar di perapian. Lebih terang dari yang pertama tadi. 

Ketika aku kembali menatap Denzel, dia menundukkan kepala. Menggigit bibir bawahnya, ia menangkup kedua tangan di pangkuannya.

"Apa Nenek tidak mengatakan sesuatu mengenai aku?" Denzel mengangkat kepalanya sedikit. Sorot matanya terlihat hati-hati.

Aku menggeleng pelan. "Nenek siapa... maksudnya?" tanyaku sedikit terbata.

Regen tertawa pelan.

Aku meliriknya dari sudut mata. Apa yang lucu?

Mata terang bulat menatapku. Denzel terlihat menggemaskan. Jika dia adikku, aku akan mengacak rambutnya yang tebal ini.

"Nenek Rose," ujarnya datar.

Menarik. Dia menyebut nama nenekku. Bisa saja kita keluarga?

Nenek pernah bilang bahwa ada keluarga yang tinggal di Kapital. Tapi, ketika aku tanya kenapa kita tidak mengunjungi mereka, Nenek akan jawab 'ada saatnya, sayangku. Kamu akan bertemu dengan mereka.'

Karena Nenek seorang Clair, aku percaya saja dengan ucapan Nenek.

"Apa kamu sepupuku?" Aku mengernyitkan kening, menatapnya dengan raut wajah penasaran.

"Aku tidak tahu apakah aku boleh mengatakannya atau tidak," ujarnya terdengar ragu-ragu.

Aku memutar bola mata. Melipat tangan di dada, aku menatap Denzel serius. "Nenek tidak mengatakan apapun padaku. Jadi, mungkin Nenek sudah tahu kalau peristiwa ini akan terjadi."

Denzel mengangguk pelan.

"Nenek kamu bilang," sela Regen. "Beliau akan menghubungi kita lagi hari ini." Regen menunjukku. "Sienna di sini. Dari yang aku coba pahami, Nenek Rose tidak mengatakan apapun pada Sienna. Meskipun mungkin Nenek tahu apa yang akan terjadi pada Sienna. Tapi ada yang aneh dari ini semua." 

Regen menegapkan posisi duduknya. "Sienna bilang, dia tidak memiliki tingkatan full magic. Tapi dia bisa melihat pendar, melihat kejadian masa lalu dan pastinya, tetap sadar di Sweven. Tapi kenapa Ms. Sera mengatakan kalau kamu memiliki grade candle magic?"

Denzel mengalihkan tatapannya padaku. Sesaat, aku membalas tatapan bingungnya. Lalu kembali berpaling pada Regen. "Itu yang..." 

Ketukan pintu membuatku terdiam.

Regen berdiri. Aku melihat pintu terbuka sebelum Regen sampai di sana.

Senyum lebar dari wajah berjambang memberikan kesan menggoda. Pria itu memiringkan kepalanya, melihat ke arahku dari balik tubuh Regen yang berdiri di depan pintu.

"Sepertinya ada yang baru," ujarnya sambil melangkah masuk ke dalam rumah. Ia kemudian berhenti sekitar satu setengah meter dariku.

Senyumnya langsung hilang saat bolak-balik dia memandangku dan Denzel. Ia mengangkat jari telunjuknya, menunjukku dan Denzel bergantian. "Miriam ingin bertemu dengan kalian." Perkataannya terdengar seperti perintah.

"Ada apa?" tanya Regen.

Pria berjambang menatapku. "Ikut saja." Dia memegang tangan Regen. Perlahan mereka menghilang.

ϲ Ӏ ɑ ղ ժ ҽ Տ Ե í ղ ҽजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें