2̸0̸

104 53 102
                                    

🍃

Cahaya bulan terang menyoroti pohon Oak di samping kananku. Tiga kali aku memasuki Sweven, efeknya selalu sama. Tubuhku terasa lemas, pelupuk mataku terasa berat dan energiku terkuras.

Kemarin, rasanya lebih ringan saat aku kembali ke dimensi ini. Apa mungkin karena ada Denzel dan Regen? Aku tidak merasa sendirian seperti pertama kali aku di Sweven.

Pun sekarang, aku merasa sendiri.

Aku kembali mengingat wajah wanita itu. Wajah yang akhirnya mengisi gambaran ibu di benakku. Mata almond biru itu dinaungi bulu mata lentik. Rahang tirusnya lebih seperti wajahku. Tulang pipi tinggi dan kening lebarnya seperti Denzel.

Tapi setidaknya, Denzel aman bersama mereka.

Apa mungkin Denzel sudah kembali ke tubuhnya? Aku berharap begitu!

Apa yang Nenek dan ibuku rencanakan? Apa Nenek tahu penyihir wanita itu akan membunuhku?

Oh! Apa aku benar-benar akan tiada, jika saja ibuku dan anggota five pillar tidak datang?

Tapi kenapa penyihir itu juga mengangkat roh Autumn, sama sepertiku? Apa dia berencana untuk mengambil inti sihirku dan memindahkannya ke dalam raga Autumn?

Kemungkinan itu membuatku bergidik ngeri!

Lagi-lagi, aku memasuki Sweven dengan segudang pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh Nenek!

"Sienna!" Suara berat agak cempreng itu, suara Joel!

Aku menarik diri ke posisi duduk. Punggung dan pantatku sudah beku oleh salju!

Joel berjongkok di sebelahku. 

"Bagaimana bisa kamu di sini?" ucapku pelan.

"Aura merasakan tarikannya! Jadi dia membawaku ke sini."

"Aura?" Aku tidak tahu siapa Aura. Ah, Denzel pernah menyebut nama gadis itu!

"Kita pergi dari sini dulu, baru mengobrol. Okey?" Aku hanya mengangguk pelan, menjawab pertanyaan Joel.

Aku merasakan tangan Joel di pergelangan tanganku, dunia seakan kembali berputar pelan.

"Sienna?!" Suara cemas Joel menjadi hal terakhir yang aku dengar sebelum dunia kembali berubah gelap.

***

Remang cahaya mentari pagi menembus gorden tipis. Menciptakan ruangan yang berbayang trapesium. Aku kembali mengerjapkan mata, melihat plafon di atas dengan pandangan buram.

Aku mengusap pelipis yang rasanya berdenyut nyeri.

"Dia sudah sadar!" Suara itu terdengar halus dan begitu feminin.

Perlahan, penglihatanku berubah jernih. Dua mata berbentuk hooded, menatapku intens. Senyum ceria tertarik di wajah manisnya.

Aku memaksakan senyum kikuk pada wajahku yang kaku.

"Awas dulu, biar aku periksa." Suara lembut Havi membuatku meliriknya.

Havi tidak terlalu tinggi untuk ukuran pria, mungkin hanya sekitar 162 cm. Wajahnya ditumbuhi jambang tebal, membuat Havi terlihat lebih tua dari umurnya. Dia menempelkan telapak tangan di keningku. Matanya tertutup, bibir tipisnya bergetar pelan.

"Energimu perlahan sudah mulai stabil," ujarnya sambil menarik tangan.

Aku menarik diri ke posisi duduk. Tubuhku memang masih agak lemas.

"Mereka mungkin melakukan eksperimen lainnya." Kalimat Havi membuatku mengernyitkan kening.

"Apa yang terjadi padaku?" Suaraku terdengar parau dan pelan.

ϲ Ӏ ɑ ղ ժ ҽ Տ Ե í ղ ҽTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang