Bab 8 - Kesedihan.

18.2K 2.6K 166
                                    

Kesedihan: Peristiwa tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan luka hati dan kepedihan.
*****
Direct-Love?
Bab 8
*****

Jati tidak pernah menyangka Aruna akan menangis dihadapannya. Meski mati-matian gadis itu menyembunyikan wajah dengan menunduk dan membiarkan anak rambutnya terlempar menutupi wajah, Jati bisa melihat dengan jelas bahu gadis itu bergetar hebat, isak tangis gadis itu terdengar memilukan dalam telinga Jati. Entah kenapa, melihatnya membuat dada Jati diluputi rasa sesak. Meski tidak tahu jelas apa yang sedang dirasakan gadis itu, tidak tahu berkaitan dengan Arjuna, atau orang lain dalam hidup gadis itu, Jati seolah merasakan kesakitan yang sedang gadis itu rasakan.

Tangan kanan Jati terulur, ingin menggapai puncak kepala Aruna untuk mengusapnya, dan menariknya dalam dekapan. Namun, gerakannya terhenti dalam sekejap, logikanya menyadarkan, bahwa dia tak boleh bertingkah melebihi batas. Aneh, ini bukan pertama kalinya Jati melihat perempuan yang sedang menangis. Tetapi, Jati tak pernah sekalipun merasakan panik dan sesak seperti sekarang ini. Biasanya, Jati hanya menunggu teman perempuannya berhenti menangis, atau hanya sekedar memberikan sapu tangan atau lembaran tisu. Lantas pergi. Namun, kenapa Aruna bisa membuat logikanya nyaris pergi dalam sekejap?

Beruntung, bunyi bel apartemen membuat Jati melangkahkan kaki, memperbesar jaraknya dengan Aruna, yang secara tidak langsung memberi gadis itu waktu untuk dirinya sendiri. Membuka pintu, rupanya Amanda telah datang dengan beraneka kantong plastik dan paper bag dikedua tangannya.

"Maaf, Pak Jati!" Amanda buru-buru menunduk begitu menyadari Jati yang berdiri menjulang di hadapannya.

Sepertinya, asisten Aruna itu terkejut, karena Jati masih berada di dalam ruangan yang sama dengan Aruna. Jati melirik sekilas pada Aruna yang masih terisak jauh di belakangnya. Tidak ingin terjadi salah paham, Jati buru-buru berkata, "Sepertinya... Bu Aruna sedang tidak dalam kondisi baik. Bisakah kamu menjaganya?"

Iris Amanda membulat, seakan Jati mengatakan sesuatu yang berada di luar nalar. "Eh? Ya... aduh, maksud saya, itu sudah menjadi tugas saya Pak Jati."

"Kalau begitu, saya permisi." tambah Jati.

"Maaf, Pak Jati. Ini ada beberapa cemilan untuk Pak Jati." Asisten Aruna itu buru-buru memberikan satu paper bag yang terbungkus rapi pada Jati.

Jati mengernyit bingung, "Oh, nggak perlu. Saya sudah makan, kok."

"Tapi, tadi Bu Aruna yang meminta saya memberikannya pada Pak Jati."

Mengingat Aruna yang mungkin saja masih menangis di dalam, Jati tak kuasa menolak ketika Amanda menyodorkan paper bag itu sekali lagi. "Baik, terima kasih ya. Saya duluan, pastikan Bu Aruna merasa lebih baik."

Jati mengulas senyum singkat ketika Amanda masih terbengong-bengong menatapnya. Mengabaikan asisten pribadi Aruna itu, Jati bergegas melangkahkan kaki menuju unitnya.

*****

Semalam, Jati sama sekali tidak bisa tidur dengan nyenyak, memejamkan mata dengan rapat, sama sekali tidak membantu membawanya jatuh ke alam mimpi. Bayangan tentang Aruna yang terus menangis terus mengusiknya. Jati tidak bisa memungkiri, mengingat Ayahnya sendiri dan Arjuna, terkadang membuatnya kembali hanyut dalam kesedihan. Seperti kemarin, dia nyaris kehilangan kontrol diri, jika saja tangis Aruna saat itu tidak kembali menyadarkannya. Lagi-lagi, banyak tanya yang kembali tersarang dalam benak Jati. Untuk siapa tangis Aruna malam itu? Jika untuk Arjuna... apakah gadis itu sangat mencintai sahabatnya? Tetapi... kenapa beberapa bukti yang Jati temukan seolah menyudutkan Aruna, sehingga gadis itu terlihat terlibat? Bisakah Jati menyebutnya sebagai tangis penyesalan?

Direct-Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang