Epilog.

26.3K 2.5K 471
                                    

Direct-Love?
*****
Epilog.

Gurat jingga terlihat jelas, Aruna menyusuri lorong yang nampak sepi. Selangkah demi selangkah, kakinya menapak dengan mantap, berjalan menaiki tangga, hingga berada di puncak gedung. Senja terpampang nyata dalam pandangannya, sejenak dia menatap langit, sembari memandang gedung-gedung yang menjulang tinggi. Lalu, pikirannya mulai berkelana.

Ada banyak hal yang Aruna pelajari dalam hidupnya sampai detik ini. Yang pertama, bahwa masalah akan selalu timbul dalam diri manusia, selagi napasnya masih berembus. Dan dari situlah, Aruna selalu belajar untuk berdamai dan menerima keadaan. Seburuk apapun, semengecewakan apapun, badai akan berlalu jika ia memiliki kesungguhan. Sebab, ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Tidak ada harapan yang bisa hilang, yang ada hanya manusia yang memilih menyerah dan enggan untuk bertahan.

Yang kedua, Aruna mengerti jika pengorbanan yang nyata sungguh-sungguh ada. Jika ditilik akan selalu ada rasa sesal yang dia rasakan, karena dia cukup terlambat. Terlambat menyadari, jika jauh-jauh hari, telah ada seseorang yang mengasihinya sepenuh hati. Dengan tulus, hingga memberikan nyawanya sendiri. Mengingatnya lagi, hanya akan membuat Aruna menangis. Menangisi kebodohannya, keterlambatannya, dan rasa egoisnya yang memuncak. Namun, disanalah Aruna menyadari, jika sebuah takdir harus terjadi dan tak mungkin bisa dia ganti. Aruna masih mengingat betul saat itulah dia berada ada di titik terendahnya. Namun, disanalah Aruna merasakan rasanya berjalan dalam kemustahilan.

Yang ketiga, Aruna belajar tentang cinta. Entah sejak kapan, kehadirannya selalu begitu berharga. Mungkin, saat Aruna meminta bantuan padanya, karena nama mereka yang berhubungan? Atau, saat laki-laki itu menjadi tempat bersandar baginya? Yang jelas, hanya pria itu yang membuat Aruna jatuh, sejatuhnya. Sebab, disaat dunia berpaling, hanya pria itu yang mengulurkan tangan padanya. Sampai dimana, kesalahpahaman membuat hubungan mereka berubah dalam sekejap. Namun, tak sekalipun Aruna bisa membuang jauh laki-laki itu dari pikirannya. Berusaha membencinya saja Aruna tidak mampu, namun saat dipertemukan kembali, logikanya yang menguasai, sehingga hal buruk itu terjadi. Aruna jadi mengerti, bahwa mencintai adalah sebuah proses. Tak melulu indah, tak selalu menyedihkan, seperti roda berputar, mengantongi berbagai macam ekspresi dan rasa. Termasuk rasa sesal. Menyedihkan sekali ketika ratusan hari terlewat bersama pria itu, Aruna baru menyadari jika dia juga pernah menjadi bagian dari masa lalunya.

Pria berkacamata yang menjadi penyelamatnya ketika berada di awal bangku kuliah. Maka, Aruna ada disini untuk mengingatnya.

Aruna ingat, dia selalu mengenakan kemeja flanel, dengan ransel yang selalu melekat di punggungnya. Aruna jarang melihatnya, karena mereka berada di fakultas yang berbeda. Tetapi, ada satu pertemuan yang berkesan untuk Aruna.

Ketika laki-laki itu memberikan payung untuknya, lantas berlari menerobos hujan untuknya sendiri. Jika tidak salah hitung, dua kali dia melakukan hal itu. Saat Aruna berada di salah satu resto dekat kampus, dan di tempat dia berpijak sekarang.

Dulu, rooftop adalah tempat favorit bagi mahasiswa anti sosial seperti Aruna. Selain karena tidak ada tempat berteduh, tidak ada juga tempat duduk yang membuat nyaman, jadi banyak mahasiswa yang lebih memilih taman, perpustakaan, ataupun kantin dan ruang organisasi untuk menghabiskan waktu jeda. Kesepian itu yang membuat Aruna nyaman berada di sini. Tidak peduli panas ataupun hujan, Aruna banyak menghabiskan waktunya disini. Entah hanya untuk menatap langit, ataupun membaca buku.

Saat itu, Aruna yang merasa sangat sedih karena tekanan dari sang ayah, menghabiskan waktunya di rooftop untuk menenangkan diri. Entah berapa lama menghabiskan waktu di sana dan tidak memedulikan sekelilingnya, hujan tiba-tiba turun dengan lebat, dan nyaris membuat tubuhnya basah kuyup, jika saja sebuah payung tidak menaungi dirinya. Ketika Aruna mendongak, tentu Aruna terkejut dengan pria berkacamata yang ada dihadapannya. Seperti mengulang hal yang sama, pria itu membiarkan Aruna menggenggam payungnya, lantas menerobos derasnya hujan dan membuat dirinya basah. Tanpa mengucap kata, tanpa mereka pernah berkenalan.

Direct-Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang