Bab 33 - Dusta.

12.2K 2.2K 371
                                    

Dusta : Kepercayaan yang dihancurkan sekejap mata.
*****
Direct-Love?
Bab 33
*****

Bukan Aruna tidak menyadari perubahan sikap sepanjang sisa hari, pria itu lebih banyak diam, tak ada candaan sederhana yang sering dilontarkan, ataupun tingkah menyebalkan yang menjadi lucu dibuatnya. Setelah makan malam, pria itu bahkan langsung pamit untuk beristirahat. Meskipun Jati tetap memperlakukannya dengan baik, tetap saja terasa perbedaannya.

Aruna tak tidur nyenyak sepanjang malam, memikirkan apa yang akan terjadi dalam pertemuannya dengan keluarga Arjuna. Gadis itu hanya bisa berdoa agar semuanya baik-baik saja, termasuk hatinya.

Esok harinya, Jati yang datang lebih dulu ke ruang makan. Pria itu hanya melemparkan senyuman, dan mempersilakan Aruna makan dalam diam. Masakan Anjani yang selalu memanjakan lidahnya, mendadak terasa biasa saja, sekalipun menu pagi itu adalah nasi goreng yang sejak dahulu menjadi santapan favorit Aruna juga.

Jati berkata usai menandaskan makanannya. "Sejujurnya, aku merasa gugup. Apa hari ini semua akan berjalan baik?"

Jika memang diamnya pria itu karena kegugupan tanpa sebab seperti yang diutarakan, entah kenapa Aruna bersyukur, karena mereka merasakan hal yang sama. Jati memang berkata jika dia mengenal Arjuna, tetapi... pria itu sama sekali tidak mengatakan bagaimana hubungan keduanya. Sebab, melihat sorot mata Jati yang tak bisa Aruna baca, mungkin memang sulit bagi Jati untuk mengatakannya pada Aruna. Sama seperti Aruna yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa mengutarakannya pada seseorang, dan itu hanya bisa dia lakukan pada Jati.

Terlepas bagaimana hubungan Jati dan Arjuna, ada sesuatu dari dalam diri Aruna yang membuatnya yakin, jika Jati dan Arjuna memiliki hubungan yang baik. Meskipun sampai detik ini, dia tidak mengerti apa alasan Toni Barata melibatkan Jati dalam pertemuan ini juga, mengingat Ayahnya itu nampak tak suka dengan kehadiran Jati.

Jati bertanya lagi, usai Aruna menandaskan makanannya. "Kita berangkat sekarang?"

Sama seperti sebelumnya, Jati memilih menggunakan motor matic milik Aksa. Maka, Aruna tidak memiliki pilihan selain mengambil jaketnya untuk dikenakan karena hari ini cukup terik. Meskipun pinggangnya sedikit tidak nyaman, Aruna tidak ingin mengeluh. Di Jakarta nanti, dia tidak akan bisa mendapati dan melakukan yang seperti ini.

Hening cukup lama, sampai Aruna memberanikan diri untuk bertanya, "Apa rumah keluarga Mas Arjuna akan lebih jauh dari perjalanan kita kemarin?"

"Tidak, tetapi akan ada jalan dan gang sempit, mungkin saja tidak akan bisa kita lewati dengan menggunakan mobil. Tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga, kan?"

Ternyata feeling Jati benar. Usai melewati jalan perkotaan yang ramai, mereka kembali menyusuri jalan berkelok pedesaan. Beberapa bagian jalan yang rusak, membuat Aruna terkejut, pelindung kepala milik gadis itu berulang kali terantuk badan Jati. Dan untuk pertama kali juga, Aruna melihat hamparan sawah hijau yang begitu luas. Sepertinya baru musim tanam, karena beberapa kali Aruna melihat banyak wanita paruh baya sedang menanam bibit padi.

"Daerah ini, bernama Delanggu. Terkenal dengan lumbung padinya, semua kemasan beras menyertakan namanya."

Aruna juga melihat sebagian anak kecil sedang bermain layangan di tengah-tengah sawah. Ada juga yang bermain lumpur dan berlarian.

"Dulu kalau main ke rumah Simbah, aku juga seperti itu. Main di sawah itu terasa surga."

Aruna menanggapi, "Simbah itu, Eyang ya? Apa rumah Eyang kamu di dekat sini?"

Jati tertawa kecil, sedangkan jantung Aruna berdesir halus, menyadari inilah yang Aruna rindukan dari Jati dalam satu hari terakhir.

"Aruna, sawah tidak hanya berada di Delanggu. Ada banyak daerah lain di Karisidenan Surakarta, meskipun beras asli Delanggu tidak ada lawan."

Direct-Love?Where stories live. Discover now