1. Tuntutan

14.3K 2.1K 54
                                    

"Ayolah, Al! Masa, sih, elo enggak mau bantuin sepupu sendiri?"

Lagi. Ini adalah tawaran ketiga kalinya. Jawaban perempuan yang sedang sibuk memotong tangkai bunga mawar merah itu tetap sama. Tidak, tidak, dan ... tidak! Ia mengembuskan napas panjang seraya mengerling sedikit jengkel.

Ini bukan perkara yang mudah. Alika sudah cukup sering sakit hati dengan keluarga Om Yoga. Om Yoga—papa Karin, sepupunya—setiap membuat acara pertemuan besar, istrinya akan dengan seenak jidat menyindir, "Alika kapan datang sama pasangan? Udah usia dua lima, lho. Nunggu apa lagi, Sayang? Karin aja bentar lagi nikah."

"Al, kok, malah bengong, sih!" Karin melambaikan setangkai mawar ke hadapan Alika. Gadis itu berdecak sebal.

Perempuan berkemeja hijau berbahan sifon itu menghela napas sejenak. "Florist di Jakarta, kan, banyak. Kenapa musti gue, sih? Lagian ini toko bunga kecil. Gue belum ada minat buat gabung WO mana pun, termasuk sama WO di kawinan lo nanti."

Karin mencebik. Gadis berbadan mungil itu masih tak mau menyerah. Ia merentangkan kedua tangan. "Lo merendah, ya? Liat, deh, semua karangan bunga buatan Alika Florist di sini cantik, punya paduan warna yang serasi, selalu mempertimbangkan makna yang tersirat dari setiap bunga yang lo pilih. Gue yakin acara kawinan gue bakalan ...."

"Sempurna!" potong Alika diiringi gelak tawa sembari memperagakan gaya Karin merentangkan kedua tangan. "Tapi tetep enggak!" Perempuan itu meletakkan gunting ke meja kayu, memberi kode pada Mirna—salah satu pegawainya—untuk melanjutkan.

"Yaah, lo gitu banget!" Gadis itu memberengut dengan suara manja. Sikap andalan yang selalu ia tujukan pada siapa pun agar apa yang diinginkan tercapai.

Alika hanya tersenyum tipis, mengedikkan bahu lalu berniat menuju halaman belakang—mengecek—barang kali stok bunga ada yang perlu ditambah.

"Gue janji bakal minta Mama buat berhenti godain lo lagi soal maksa lo cepet nikah, Al!" pekik Karin, berharap Alika berubah pikiran.

Perempuan itu berhenti di ambang pintu tanpa berbalik ke arah Karin.

"Please ... kita udah kayak kakak-adik, ke mana-mana berdua, masa lo tega di acara nikahan gue enggak mau datang buat mempercantik acaranya nanti." Kali ini suaranya bergetar cenderung merengek seperti mau menangis.

Alika menengadah setengah menggeram sebal. Ia berbalik seraya berkacak pinggang. "Janji enggak ada pertanyaan kapan aku bakal nyusul lo nikah?"

Karin mengangguk mantap.

"Enggak ada acara ngenalin gue ke anak kenalan orang tua lo?"

Karin makin mengangguk tegas dengan mata berkaca-kaca penuh binar pengharapan.

"Selama gue atur dekorasi, lo bisa mastiin Tante Winda enggak ikut campur, kan?" Manik cokelat Alika memicing.

"Janji! Janji! Janji! Gue bakalan minta Mama jauh-jauh dari lo, Al," tegas Karin.

Bibir ranum Alika mengerucut seraya mengangguk-angguk.

"So?"

Alika menarik napas dalam dan berkata, "Oke ...."

Gadis yang mengenakan rok berbentuk A-line selutut itu berjingkrak-jingkrak tak keruan. Ia menghampiri sepupunya yang menggeleng tak habis pikir dengan tingkah kekanakan Karin. "Thank you, Al!"

"Heh, biasa aja kali! Lo kayak bocah TK abis dikasih permen, ih!" Alika berusaha melepaskan rangkulan erat gadis itu di lehernya.

Karin terbahak seraya mengurai pelukan. Ia berjalan mengekor perempuan berbandana putih itu ke halaman belakang. "Oia, ini alamat WO yang bakalan nanganin acara nanti. Aku kemarin lupa minta kartu nama, tapi semalam Mas Arya telepon dan sempat kasih info alamat ini."

Sang PerawanWhere stories live. Discover now