7. Sepenggal Kisah Mawar Putih

8.8K 1.5K 125
                                    

Jika semua perempuan diibaratkan sebagai bunga, Raga memilih sosok Alika sebagai gadis bak mawar putih yang cantik. Melambangkan kesucian, kepolosan, dan muda. Dua tahun cowok itu hanya berani melihatnya dari kejauhan.

Cowok beralis tebal dengan tulang pipi yang tegas itu suka mendengar tawa kecilnya. Tawanya itu nyaring, tak seberisik teman-teman Alika yang cerewet. Garis senyum di bibir penuh gadis itu tampak menawan, menunjukkan keramahan, tapi Raga selalu tak kuasa menyapa barang berkata, "Hai!"

Cewek bermanik cokelat terang itu juga tak mau sembarangan akrab dengan cowok mana pun. Hal itu terbukti dari cara Alika bergaul dengan teman sebaya di kelasnya yang berjenis kelamin lelaki. Ia berani bilang tidak saat ajakan nonton di malam Minggu dari cowok sekeren dan sepopuler Beni. Cewek dengan aroma parfum rose--Raga pernah diam-diam menghidu wanginya saat berpapasan--itu tak pernah ribut mengidolakan aktor tampan ketika teman sekelas lebay mengaguminya.

Selama duduk di bangku SMA dan Raga berhasil menemani langkahnya dalam diam, belum pernah sekali pun Alika dekat dengan teman sebaya atau kakak kelas.

Dua tahun ia berjalan diam-diam menjaga setiap langkah gadis itu. Ia juga tak segan menghalangi Beni--teman sekelas sekaligus saudara tirinya--yang berniat usil.

Sampai suatu ketika, hujan dan mawar rambat di pagar sekolah itu mengenalkan mereka.

Sore itu, Raga sengaja urung pulang, merelakan mobil jemputan suami Rosita membawa Beni serta meninggalkannya di sekolah. Bukan tanpa alasan, hari Senin adalah hari padat bagi siswa kelas 3 terutama anak IPA. Ia duduk di depan kantin yang tepat berada di belakang kelas gadis itu.

Tak seperti biasanya, untuk hari ini, Alika tampak duduk di bangku paling belakang. Gadis itu sempat menguap beberapa kali. Raga hampir terkikik dan terbatuk ketika tumpuan tangan di dagu Alika terlepas dan membuat kening gadis itu nyaris terbentur permukaan meja.

Cowok yang seragamnya sudah setengah berantakan dan menghabiskan seporsi mi ayam ditemani segelas es teh itu bangkit begitu guru di kelas Alika berucap salam. Ia bergegas membayar semua jajanan yang dimakan, lalu berlari, dan melupakan uang kembalian.

Gerimis mulai turun rintik-rintik. Mendung yang bergelayut mulai mengembuskan hawa dingin. Gadis berambut sebawah bahu itu berlari kecil. Raga terus mengekor sambil sesekali membenarkan posisi ransel di bahu kanan. Mereka berhenti di sebuah halte tanpa tempat duduk depan sekolah. Gerimis yang berubah menjadi hujan itu sontak membuat halte semakin berjejal dengan orang-orang yang juga ingin berteduh.

Raga yang semula memberi jarak dirinya dengan lengan gadis itu semakin terdesak, menyisakan sejengkal ruang di antara mereka. Hanya begini saja, mulutnya selalu tak sanggup terbuka, terkunci oleh dada sialan yang berdebar-debar.

"Eh!" Alika mundur, semakin merapatkan diri ke belakang, menempel pada rerimbunan mawar rambat di pagar sekolah tepat di belakang halte.

Bus pertama yang lewat langsung penuh. Kedua dan ketiga sama saja. Sampai akhirnya menyisakan Raga dan Alika seorang. Raga tak bersedia naik bus duluan, sedangkan Alika selalu tak sanggup berjejalan dalam bus yang sesak.

Mereka membisu, hanya sesekali saling melirik melalui ujung mata. Hingga akhirnya bus berikutnya hampir lewat. Gadis itu mengembuskan napas lega, berniat maju satu langkah lebih ke depan. Namun, sesuatu menahannya. Bukan telapak tangan dingin Raga yang meraih lengan kurus cewek bermata cokelat terang itu, tapi tanaman perdu di belakang mereka.

"Aduh!" Alika meringis begitu menyadari ujung rambutnya tersangkut tangkai berduri di pagar sekolah.

Ia berusaha menarik paksa helaian rambut lembap yang sempat terguyur gerimis. Rasa gugup karena takut bus berlalu begitu saja membuatnya tak mampu berkonsentrasi mengurus kaitan rambut hitam legamnya.

Sang PerawanWhere stories live. Discover now