30. Sebuket Bunga Tansy

3.4K 783 63
                                    

Halo, apa kabar? Sehat, ya?

Maafkan baru up lagi. Aku baru saja sembuh dari ... sakit gigi. T_T

Oke, happy reading! :)


====***====

Anak gadis mereka terlihat baik-baik saja. Setidaknya itu yang bisa Seto lihat bersama istrinya sejak beberapa hari ini. Kei memang lebih banyak diam, tapi gadis itu tak menangisi apa pun layaknya sedang putus cinta. Pekerjaan di kantor masih berjalan semestinya meski tanpa kehadiran Raga lagi. Tak ada bahasan apa pun mengenai perasaannya dan bagaimana ke depan ketika laki-laki pujaannya memilih pergi.

Seperti pagi ini, Kei terlihat baik-baik saja. Gadis yang mengenakan blazer hijau tosca itu duduk di kursi ruang makan, meraih selembar roti gandum. Tangan bercat kuku putihnya cekatan mengoleskan selai cokelat kacang. Meski riasan di wajah terlihat tipis, Mala—sang ibu—bisa menilai anak gadisnya tetap cantik ketika sesekali senyum di bibir penuhnya muncul walau hanya sekilas ketika turun dari lantai dua.

Seto berdeham, menginterupsi sesi sarapan dengan meletakkan setangkup roti isi buatan Mala. Ia menyesap sedikit kopi hitam dalam cangkir di sisi kanan. "Gimana kantor? Kamu bisa mengendalikannya sendiri meski nggak ada Raga, kan?"

Mala sontak menyinggungkan tungkai kaki kiri ke kaki suaminya. Sepertinya ia sedikit belum siap kalau harus mendengarkan curhatan patah hati sang putri tunggal.

Kei mengangguk-angguk seraya mengunyah roti berasa gurih kacang dan cokelat dalam mulut. Ia sama meletakkan lembaran roti gandum ke atas piring sarapan, meraih secangkir cokelat panas di sisi kanan. "Ini cuma sementara, Papa. Entar Mas Raga pasti balik lagi. Iya, kan, Ma?" tuturnya usai menyesap dua kali minuman seraya menatap sang ibu.

Mala menegang sejenak. Ia mengusap sebelah lehernya sembari tersenyum kaku. "I-iya ..., Sayang."

Seto menghela napas panjang. Kebiasaan Mala yang tak pernah kunjung hilang, selalu mengiakan apa pun yang putri mereka inginkan. "Sayang, Papa rasa ...."

Kalimat sang ayah terhenti oleh denting ponsel Kei di dalam sling bag yang tergeletak di kursi kosong. Gadis dengan rambut tergerai sebahu itu kemudian sibuk mencari benda pipih dalam tas. "Ya, Mas Beni?"

Lalu, Kei tergesa meninggalkan sarapan pagi, menyisakan setengah roti dan sepertiga cokelat panas beserta tatap gamang orang tuanya.

**

"Gue nggak nyangka Raga beneran serius resign dari jabatan semapan ini." Pria berkaus merah itu mengangkat papan akrilik bertuliskan nama dan jabatan saudara tirinya di perusahaan Seto. Meski pemilik ruangan ini sudah hengkang dari Kei Organizer, sepertinya Kei belum mau mengosongkan dan menata ulang ruangan. Semua masih tampak sama saja seperti Raga masih menempati kantor ini.

Kei tampak tersenyum tipis sembari menggerak-gerakkan kursi berporos yang di duduki ke kiri dan kanan. Tatapnya memperhatikan Beni yang tengah duduk di tepi meja dan Yana yang sibuk di sofa sembari meneliti kembali kelengkapan sarana dan prasarana acara reuni SMA.

Yana tak terlalu fokus dengan tingkah suaminya yang kerap terlihat tak sopan. Sesampainya di gedung ini saja perempuan itu sudah muak ketika Beni dengan sengaja mengerlingkan mata pada mantan sekretaris Raga. Laki-laki itu juga tak malu untuk sekadar bersiul ketika berpapasan dengan karyawan wanita. Yana tak lagi terpengaruh. Mungkin saja karena ia sudah muak atau ... tak ada cinta lagi, kecuali janin berusia dua bulan yang ia pertimbangkan untuk menjaga ikatan pernikahan tetap utuh.

Ini kehamilan ketiga setelah yang pertama dan kedua digugurkan begitu saja atas permintaan Beni. Yang ketiga, andai saja bukan Raga dan Rosita yang menemukannya pingsan kemudian membawanya ke rumah sakit, Yana berniat merahasiakan kehamilannya. Berjaga-jaga kalau-kalau Beni memaksa memusnahkannya lagi maka Yana lebih memilih pergi. Pergi yang jauh.

Sang PerawanWhere stories live. Discover now