29. Emosi, Cinta, dan Dukungan

3.9K 856 83
                                    

Hai, selamat hari Rabu!

Apa kabar hari ini?

Vote dulu sama komentar boleh, ya? Biar aku semangat update lagi.

Yang suka adegan romantis implisit yang manis, boleh baca. Yang enggak, bisa skip, ya. Tapi seperti biasa, aku selalu terbuka dengan masukan semisal ternyata tulisanku keterlaluan atau kelewat batas.

Terima kasih. :))


====***====

Alika tergelak. Tawanya menggema dalam ruangan berdinding batu pualam cokelat. Perempuan itu mendesah sejenak usai menyampirkan handuk pada gantungan setelah tawa mereda. Ia meloloskan kaus abu-abu yang melekat di tubuh, meletakkannya pada pinggiran wastafel, menyisakan bra hitam berenda yang manis.

Suara Karin menghilang, mungkin sudah turun ke toko menemani Mirna. Berganti dengan suara gemercik air dari keran yang Alika buka. Ia berniat membungkuk untuk membasuh muka sebelum mencucinya dengan serangkaian sabun perawatan wajah. Namun, tatapannya yang tertuju pada kaus Raga di pinggiran wastafel itu menghentikan niatan semula.

Alika kembali menegakkan tubuh, menatap bayangan dalam cermin persegi berhias lampu tempel di sisi kanan dan kiri. Dadanya mendadak bergemuruh rebut begitu ingatan semalam terlintas.

Semalam emosi menguasai pikiran. Ada amarah yang membeludak pada sosok Oma Ratri yang kerap menekan. Ibu dari sang ayah itu sepertinya terlalu jijik dengan perempuan yang tak lagi perawan. Seperti tak ada harganya lagi, sampai tega merendahkan Rahayu di depan keluarga. Sampai di titik emosi itu, pikiran Alika menggelap.

Biarkan saja perempuan itu tahu rasa cucunya ini sudah rusak. Rusak seperti apa yang Oma terangkan selama ini, bila gadis tak lagi perawan tidak ada harganya sama sekali. Telanjur basah, menyelam saja sekalian. Biar perempuan bertatapan sinis itu tahu betapa sakitnya kalau tahu apa yang diagungkannya sampai tega merendahkan Rahayu malah mendatangkan karma pada cucu kandungnya.

"So, let's do it. Kita bukan remaja ingusan yang nggak tahu gimana caranya main aman, kan?"

Dan kalimat itu serupa mantra ajaib yang sanggup menghipnotis Raga dalam keremangan lampu tidur apartemennya. Yang semula hanya sapuan dua ibu jari saja saat menghapus jejak basah di kedua pipi Alika, berubah menjadi kecupan-kecupan kecil sepanjang sembap di sudut mata dan pipi. Yang semula hanya tepukan lembut di punggung demi menenangkan tangis, berubah menjadi rengkuhan erat, menjalar hingga pinggang, lalu merapatkan diri sampai jarak itu musnah.

Semua diperparah dengan cara Alika berserah pada laki-laki itu. Sengaja mengalungkan dua lengan ke leher, lalu menelusupkan jemari lentik pada riak rambut Raga yang mulai berantakan karena berguling beberapa kali di atas ranjang. Wanita yang mulai terbakar renjana itu membiarkan bibir laki-laki itu menjelajah ke mana pun naluri menuntun. Membiarkan telapak tangan yang Alika tahu terampil memanjakan bunga-bunga menelusup di sebalik sweter cokelatnya, menyisipkan jemari ke dalam kain satin berenda yang menggoda.

Yang semula bermain-main kecil justru memantik panas yang semakin bergelenyar, membara hingga napas keduanya terengah saat dua bibir itu saling mendesak dan menuntut, dengan pergerakan liar telapak tangan yang berkelana semau mereka. Bentangan selimut mengusut. Ujung-ujung seprai putih di atas tempat tidur berantakan.

Yang baru Alika sadari detik itu juga adalah, sosok Raga bukan lagi remaja yang dulu malu-malu bergerak menyisir setiap titik-titik yang sanggup membuatnya melayang, terengah, dan perutnya bergejolak seolah ada jutaan kupu-kupu warna-warni yang mendesak dalam diri. Pria yang bergumul bersamanya semalam berbahaya. Sebab di balik kaus longgar pria itu ada sosok maskulin yang menggoda untuk disentuh. Lengan dan bahunya yang kokoh bukan masalah bila Alika bergelayut untuk menahan segala ledakan renjana yang meletup-letup. Ada aroma parfum akuatik yang akhir-akhir ini menjadi favorit Alika untuk dihidu dalam-dalam.

Sang PerawanWhere stories live. Discover now