50. Mencoreng Nama Baik

3.9K 969 116
                                    

Hai, liburan anak sekolah para Mamak-Mamak pada ke mana, nih? 🤭

Vote dulu, boleh?

Terima kasih.

Happy reading, Besti. 😘

====💐💐💐====


Ruangan bernuansa putih itu terdengar hening. Tak ada satu pun dari keduanya—yang tengah terbaring di atas ranjang pasien—bersuara malam ini. Sementara laki-laki itu memeluk erat pinggangnya dari belakang, prempuan berwajah pucat itu sibuk mengamati selembar kertas foto hitam putih.

"Dia ... masih kecil banget," kata Alika lirih seraya mengusap foto janin hasil USG.

Raga mengeratkan pelukan. "Mm, kamu makannya dikit, gimana mau cepet besar."

Satu hal yang sebenarnya sedang berusaha mereka terima dengan hati lapang. Janin dalam diri Alika tak berkembang dengan baik. Alasan pernyataan itu muncul dari dokter adalah, kondisi ibu mengalami stres berat dan kekurangan nutrisi.

Meski demikian, baik dokter maupun Alika dan Raga, masih mencoba mempertahannya. Alika harus terima bedrest dan berhenti memikirkan hal-hal yang bisa menekan batin serta pikiran.

Alika mengembuskan napas panjang sebelum mengubah posisi, menghadap laki-laki yang sedari tadi menemaninya. Ia sempat meletakkan foto USG di tangan kanannya ke nakas sisi tempat tidur.

"Aku makan kue pancong tadi pagi. Cuma dua suap, sih," katanya seraya mendongak, menatap laki-laki yang sedikit melonggarkan rengkuhan.

"Kurang. Satu gerobak kek diabisin."

Alika terkikik geli. Satu telapak tangannya menutup mulut. Raga meraih tangan itu.

"Jangan banyak gerak, darahnya naik ke selang infus lagi entar. Susternya cerewet, tadi marah-marah waktu benerin infus kamu yang berdarah." Raga berceletuk seraya memindahkan telapak tangan itu ke dadanya.

Alika tersenyum miris. Tatapnya menelisik pada lebam di pipi kanan dan sudut bibir yang memerah karena mungkin di dalam sana ada luka bekas pukulan keras. Bagaimana perempuan itu tak bergerak histeris saat siang tadi ia sempat melihat—dengan mata kepala sendiri—Pras menyeret Raga yang tengah berlutut memohon maaf di kaki ayah Alika ke kamar mandi.

Kamar pasien itu sempat gaduh. Alika menangis histeris, memanggil-manggil sang ayah untuk segera menghentikan amukan dari rasa tak terimanya saat tahu anak gadisnya tengah berbadan dua. Tak ada yang bisa berbuat banyak. Rahayu pun telah berusaha mencegah semuanya, memanggil-manggil suaminya agar menahan diri. Namun, Alika yang nekat turun dari ranjang, menggebrak-gebrak pintu kamar mandi yang terkunci dari dalam, membuat Rahayu sontak panik. Infus di punggung tangan Alika terlepas, mengucurkan darah yang memerah.

Dan semua keributan itu sontak membuat pihak rumah sakit marah-marah. Mengganggu ketenangan pasien termasuk Alika yang seharusnya berbaring dengan tenang.

"Masih sakit, Ga? Mau aku mintain obat ke suster?" Alika bertanya lirih sembari mengusap pelan lebam di pipinya.

Raga menggeleng cepat. "Nggak. Entar juga sembuh," jawabnya seraya meraup Alika kembali dalam peluk, menenggelamkan perempuan itu di dadanya. "Jangan pikirin apa-apa lagi. Kamu fokus sama kesehatan. Aku nggak papa."

Perempuan dalam dekap itu mengangguk. "Punggungku sakit, kayaknya gara-gara semalam ketiduran sambil duduk di kamar mandi," keluhnya.

Mendengar keluhan itu, refleks tangan Raga yang semula memeluk membuat gerakan mengusap-usap pelan. Berharap sakit itu pergi dan tak membahayakan apa pun dalam diri perempuan yang mulai memejam dan terlelap.

Sang PerawanWhere stories live. Discover now