33. Patah untuk Kedua Kalinya

3.8K 779 128
                                    

Cie, yang ngarep mereka kebablasan. 🤣

Udahlah, biarkan jadi rahasia mereka kelanjutannya. 😂

Nih, aku kasih yang rada gimanaaaa gitu! Hatinya dikuat-kuatin dulu, ya. 😌

Happy reading!

Vote dulu sama sapa di komentar, dong, biar ramai. 😘

Terima kasih. 🥰

====💐💐💐====

Tama baru pulang rapat dengan jajaran direksi satu jam yang lalu. Sempat bertemu Pras dan memohon izin mengajak Alika pergi makan malam.

Tiba di rumah, Tama sudah berusaha menelepon anak gadis Pras. Namun, dua kali panggilannya terabaikan. Jadi, bukan salahnya ia datang dadakan dan spontan mengajaknya pergi malam ini. Sayangnya, ia harus bersabar melewati lalu lintas yang padat merayap sore ini.

Satu pesan ia layangkan ketika mobil terpaksa berhenti karena macet.

Tama:
Kita pergi makan malam hari ini? Aku dalam perjalanan ke Alika Florist.

Tak ada balasan apa pun meski terbaca. Tanda centang biru bahkan muncul semenit setelah pesan terkirim. Tama mengembuskan napas panjang. Ia kembali merangsekkan ponsel ke saku kemejanya. Ada gusar yang tertahan, tapi ini memang risiko yang harus ditanggung. Risiko mencintai tanpa dicintai.

Cinta? Tama mendecih, geli sendiri membayangkan kata itu.

Tapi bukankah laki-laki demikian adanya? Makhluk Tuhan yang gampang jatuh cinta hanya karena unsur visual pada mulanya?

Alika ... cantik dan manis. Tama suka dengan sikap tenangnya. Namun, ia lebih suka tatapan kaget dan gugupnya di pertemuan kemarin. Bola mata gadis itu spontan melebar. Pupil manik cokelat terangnya mengecil. Kemudian tubuhnya refleks menjauh dengan kepala tertunduk. Ia memilih fokus menyibukkan diri menuang gula ke dalam cangkir, sementara tangan kirinya mengusap tengkuk di balik rambut hitam pekatnya.

Lucu dan menyenangkan.

Tama tersenyum teringat pertemuan terakhirnya bersama Alika sore kemarin. Ia hampir yakin bisa saja memaksa gadis itu segera membuka hati untuknya saja. Namun, tepat seratus meter sebelum ia sampai di depan Alika Florist, mobil hitam itu melaju dari arah berlawanan.

Lalu, tepat ketika mobil Tama dan mobil dari arah berlawanan itu berpapasan, kaki jenjang berbalut sepatu hitamnya refleks memijak rem. Lagi-lagi ia kalau cepat. Dari kaca jendela mobil yang ditutup hanya setengah milik Raga, Tama menyadari ada Alika di sana.

Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali terdiam, menatap kepergian gadisnya bersama pria lain melalui spion kendaraan. Rahang Tama mengeras, dadanya bergemuruh sesak. Demi membuang kekesalannya, pria berkemeja biru muda itu memukul setir keras-keras. Ia bersandar seraya menengadah kemudian sembari mengembuskan napas kasar.

Semenit berlalu Tama habiskan dengan memejam dan sesekali menghela napas panjang, tanpa pergerakan apa pun. Sampai akhirnya, ia memilih tetap melanjutkan misi. Mungkin dengan rela menunggu berlama-lama di toko bunga gadis yang baru saja pergi bisa sedikit menyadarkan Alika bahwa Tama masih mau menunggu.

Tama menjalankan kendaraannya kembali dan berhenti tepat di depan Alika Florist. Pria itu turun dengan tatapan dan tubuh lesu. Ia baru berjalan tiga langkah ketika Mirna tergopoh keluar dari toko sembari membawa selembar kertas.

Karyawan Alika yang masih berusia belia itu mendadak berhenti, batal berlari. "A-aduh, Ma-mas Tama datang. Mbak Alika baru aja pergi," jelasnya dengan raut tak enak hati. Senyum gadis itu tampak kaku.

Sang PerawanWhere stories live. Discover now