12. Yang Lelah dan Hampir Menyerah

5.3K 1.1K 117
                                    

Sejak kecil, Raga terbiasa diam. Bukan berarti apa yang ada di sekitarnya sudah memberinya cukup kebahagiaan dan ketenangan. Bukan seperti itu kenyataannya. Terbiasa hidup berdua saja dengan Rosita--ibunya--terkadang membuat Raga terlalu lemah untuk sekadar berani bertindak. Ia terlalu banyak pertimbangan dan memikirkan perasaan orang lain.

Termasuk ketika Rosita memilih menerima lamaran Hendri--mantan kekasih semasa kuliah dan cinta pertamanya. Sebagai anak, Raga tak banyak berkomentar. Ia hanya berkata, "Terserah Mama. Yang penting Mama bahagia."

Namun, tanpa ia sadari, bahagia untuk ibunya belum tentu menuai kebahagiaan juga untuknya.

Hendri--duda beranak satu--yang ditinggal istrinya berpulang sejak Beni, putranya, berusia dua belas tahun.

Berbeda dengan Beni yang terbiasa melihat betapa keras sang ayah, cowok seumuran Raga itu cenderung keras kepala dan tak mau mendengar pendapat orang lain. Pun karena sering dimanja dengan gelimang harta, hingga mendewasa, Beni tak bisa mandiri dan kerap membuat masalah. Asal ada uang, semua beres.

Saking memujanya pada materi sang ayah yang berlimpah, ia sampai menuding Raga mengizinkan ibunya menerima lamaran Hendri karena mau hidup mewah.

Raga ingat di hari pertama tinggal di rumah Hendri dulu, Beni pernah mengusiknya.

"Hidup numpang jangan belagu, deh, lo!" decaknya sembari melempar ransel Raga yang tergeletak di meja bar ke lantai.

Diperlakukan demikian, ia tak pernah mau meladeni. Sebab meladeni ajakan berperang Beni hanya akan membuat keruh suasana rumah, terutama Rosita dan Hendri. Raga tak mau ibunya kepikiran. Prinsipnya, dengarkan saja apa kata Beni, tapi jangan diambil hati.

Dan mengingat semua tekanan Beni itu membuat Raga lelah. Bahkan ketika sudah serela ini ia berkorban banting tulang untuk mengembalikan kondisi ekonomi sampai membaik, saudara tirinya itu kerap membuat masalah dan mengajaknya berseteru.

**

Suara pukulan dan tendangan itu terdengar cukup keras. Laki-laki itu masih betah membuang energi negatif serupa amarah pada samsak yang tergantung di sebuah ruangan gym. Pulang mengantar Alika, pertemuan dengan klien ia batalkan.

Ia butuh pengalihan emosi sejenak dengan mendatangi ruang gym di lantai dasar tower apartemennya. Sebelumnya Raga sudah berlari mengelilingi jogging track. Sayangnya, begitu malam menjelang, kenangan lalu berkelebatan. Satu-satunya cara membuat otaknya berhenti sejenak memikirkannya adalah dengan membuat tubuhnya kelelahan.

Lelah memukul dan menendang samsak sampai puas, Raga merebah di lantai yang dingin. Napasnya masih terengah, kaus lengan pendek putihnya basah karena keringat. Ia belum mau bangkit dari acara merebah seraya menutup mata dengan lengan kanan. Punggung tangannya terasa panas meski Raga sudah melindunginya dengan hand wrap. Kalaupun pergelangan tangannya patah, ia tak peduli untuk saat ini.

"Kenapa lo? Sakau samsak hari ini?" Arya yang baru datang berdecak pelan.

Apartemen mereka memang satu tower. Kalau pulang malam karena lembur, Arya lebih memilih pulang ke apartemennya daripada ke rumah orang tua, lebih dekat. Ia baru akan berniat membuang lemak-lemak, tapi minatnya menguar melihat pria yang sekarang tergeletak di lantai seperti mau pingsan. Melihat cara Raga memukul tiada henti sudah membuatnya lelah duluan.

Raga menghela dan mengembuskan napas panjang, menghimpun kembali tenaga sekadar untuk bangkit. "Lo ngapain ke sini?"

"Olahragalah, masa mau makan! Ada masalah?"

Raga hanya melirik sekilas sembari melepas hand wrap di tangan. "Nggak."

"Kei apa Alika, nih?" desak Arya masih tak mau berhenti.

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang