42. Menggadaikan Mimpi

3.1K 853 113
                                    

Hai, Minggu sore di sini hujan! Aku rebahan aja biar bisa update tipis-tipis. 😘

Yok, kembangnya ditanam di komentar, yok! Biar Alika Florist nggak kehabisan bunga. 😂

Vote sama komentar jangan lupa, Bestie. 😘

Happy reading!

🌹🌹🌹🌹

====💐💐💐====



"Iya, maaf, ya, Bu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Iya, maaf, ya, Bu. Mungkin lain waktu."

Mirna tertegun untuk beberapa saat. Gadis yang tengah menata floral foam di atas rak itu menggeleng ketika harus melihat lagi sang pemilik toko menolak pesanan. Mirna bisa mengerti kalau hanya sekali dua kali. Sayangnya ini hampir seminggu penuh Alika menolak pesanan berskala di atas 10 pesanan dari pelanggan.

Perempuan itu sibuk mengikuti kursus masak bersama Rima--calon mertuanya.

Mirna bisa merasakan perubahan signifikan penjualan Alika Florist. Yang biasanya ia hampir tiap hari wara-wiri menjadi asisten saat ada banyak pesanan buket bunga, Mirna semingu ini merasa santai. Saking santainya, gadis itu kadang sampai mengajak bicara pada tanaman-tanaman di halaman belakang saat menyiraminya.

Dadang yang biasa menimpali, "Neng Mirna, ini kembang lagi diajak ngomong? Kalau lagi stres jangan begini juga atuh, takut Pak Dadang, Neng."

Mendengarnya, Mirna hanya meringis lebar sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Begitu Alika selesai dengan sesi telepon penolakan order itu, ia bersandar ke kursi seraya memijit pelipis. Akhir-akhir ini Mirna juga kerap melihat sang bos mengabaikan makan siang. Sarapan saja hanya selembar roti dan secangkir susu. Pipi wanita dengan outer merah jambu itu mulai tampak tirus.

Mirna memang melihat Alika tersenyum di depan Rima ketika bertandang ke toko bunga untuk menjemputnya. Tapi setiap pulang dari acara kursus, tak jarang  perempuan itu terlihat melamun. Duduk di ayunan, menatapi bunga-bunga yang bermekaran sendirian.

"Gimana, sih, Mbak? Kalau semua orderan pelanggan ditolak, lama-lama mereka pindah ke toko bunga lain." Mirna mulai memberanikan diri angkat bicara. Bagaimanapun ia juga hidup dari hasil penjualan buket dan karangan bunga Alika Florist. Kalau sampai sepi pelanggan, toko ini bisa bangkrut, dan mencari pekerjaan di luar sana sudah pasti tidak mudah.

Alika memperhatikan buku-buku jarinya di atas panggkuan. "Aku capek, Mir. Seharian kursus masak aja udah bikin tenaga terkuras habis. Apalagi harus ditambah ngurusin toko bunga. Kamu ... nggak bisa gantiin aku buat bikin buket, ya, Mir?"

Gadis berapron cokelat tua itu berdecak pelan. Diletakkannya setumpuk floral foam kering yang masih terbungkus plastik ke atas meja. Mirna menarik kursi, duduk di balik meja kasir bersama Alika.

Sang PerawanWhere stories live. Discover now