19. Yang Memaksa Ia Pergi

4K 981 123
                                    

Hai, apa kabar? 😭
Dua bulan enggak posting apa kalian masih mau setia menunggu? 😭

Boleh minta vote dulu sama say hi di komentar, nggak? ❤

Maafkan aku yang akhir-akhir ini lambat nulis. Terlalu banyak hal yang sulit aku ceritain kenapa kecepatan nulis berubah kayak siput. 🥲

Tapi masih pada mau baca, kan? Makasih buat yang mau nungguin Raga dan Alika lanjut, ya.

Doakan aku sehat selalu. 🤗❤

Happy reading. 🥰

====💐💐💐====


Raga memang ahli berkebun. Memotong daun kering, menyiram tanaman, menyiangi rumput, sampai memahami hama, dan penyakit pada bunga-bunga, ia jagonya. Tapi perkara merangkai bunga, perempuan di sisi Raga yang masih menusukkan baby's breath untuk menambah volum pada buket bunga-lah ahlinya.

Hari mulai sore ketika keduanya selesai berkeliling di kebun bunga mawar. Raga masih sama seperti dulu. Ia suka mengajak Alika ke tempat-tempat penuh bunga tanpa rencana. Justru karena tak terencana, perjalanan mereka terasa selalu berkesan.

Seperti hari ini, Alika mulanya tak menganggap serius ajakan ke Bandung. Namun, seperti Raga sebelumnya, mereka tetap berangkat meski terkesan mendadak. Kebun bunga yang mereka datangi berada di kawasan Cisarua, Bandung Barat. Selain menjual tanaman hias dan menjadi suplaier mawar super, kebun ini juga kerap mengadakan kursus merangkai bunga.

Perempuan itu tampak antusias mengikuti kelas. Mencoba beberapa flowers arrangement meski sesungguhnya, bertahun-tahun menjadi florist cukup membuatnya andal merangkai aneka bunga.

Meski kelas sudah selesai, Alika masih mau melakukannya lagi.

"Kalau kita menikah nanti, kamu mau bikin konsep Alika Florist kayak kebun bunga ini bareng aku, nggak, Ga?" Alika masih sibuk merapikan rangkain bunga di meja.

Raga belum menjawab. Pria itu sempat tertegun sesaat. Sampai akhirnya Alika menyadari pertanyaannya yang terkesan terlalu cepat, mengingat ia sendiri belum memberikan kepastian mengenai lamaran dadakan tempo hari.

Tatapan keduanya berserobok. Rumah kaca yang terkadang masih ada beberapa pekerja berlalu-lalang tiba-tiba terasa senyap.

"Ini kita lagi mau wawancara lamaran tukang kebun, apa pernikahan, sih?"

Bola mata bermanik cokelat terang Alika berputar jenaka. "Kalau aku minta keduanya, boleh?"

Raga tergelak. "Pilih saja pernikahan maka kamu dapat dua figur sekaligus dalam hidup."

"Dua figur?" Perempuan itu menyipit tak mengerti.

"Iya, dua. Suami dan tukang kebun."

Lalu, respons selanjutnya adalah Alika mendelik seraya melayangkan tinju ke lengan kiri Raga. "Heh, udah berani ngegombal, ya, sekarang? Dulu aja suka cari-cari alasan biar ketemu tiap hari."

"Kamunya mau aja diajakin pergi berdua, kan?" timpalnya sembari mengulurkan jemari, kemudian menyisihkan helaian rambut di bahu Alika ke belakang. Sebuah pergerakan yang sontak membuat tubuh perempuan itu meremang.

"Aku juga nggak bakal pergi ke pesta kelulusan sekaligus ulang tahun Beni malam itu kalau ... nggak ada kamu. Kamu selalu jadi alasan ke mana aku mau pergi."

Tatapan Raga meredup seketika. Pergerakan tangan yang merapikan juntaian rambut berantakan di bahu Alika berhenti begitu saja. Laki-laki itu menghela napas panjang seraya menyandarkan pinggang ke meja kayu di hadapan Alika. "Kamu berhak tanya sekarang. Rasanya nggak adil tujuh tahun kamu kebingungan sendirian."

Sang PerawanKde žijí příběhy. Začni objevovat