Prolog

20.5K 2.3K 139
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Alika mengembuskan napas panjang melalui bibir. Ada rasa berdebar saat ia sampai di pelataran minimarket dengan ornamen stiker bergaris merah dan kuning. Sebelum masuk, lehernya menjulur dengan kaki berjinjit, mengamati meja kasir. Ah, aman! Tetangga sebelah yang bekerja di minimarket itu sudah tak ada dan berganti shift dengan karyawan lain.

Setelah merapatkan jaket parka dan mengenakan hodie ke kepala, Alika menggigit bibir serta memantapkan hati lalu berharap Tuhan masih mau menyelamatkan masa depannya. Ia berjanji tak akan mengulangi dan bersumpah tak ingin terjerumus ke dalam lubang perkara yang sama. Alika sempat ragu mendekatkan diri ke meja kasir. Gadis dengan jaket abu-abu tua itu pun mundur dan beranjak ke rak camilan. Setelah antrean di kasir habis, ia bergegas ke sana, meraih benda persegi berbungkus kertas berwarna biru. Kepalanya tertunduk, tak berani menatap ke arah sang kasir.

"Dua puluh lima ribu," kata sang kasir.

Alika tergesa menyodorkan uang ke meja. Beruntung uangnya pas sehingga ia segera pergi tanpa memedulikan struk pembayaran. Dengan cekatan gadis itu kembali menaiki sepedanya dan mengayuh penuh semangat. Saking tergesanya, Alika hampir saja terserempet pengendara motor yang lewat. Pengendara motor itu sempat mengumpat, tetapi ia tak menggubris dan terus berbelok ke blok di mana rumahnya berada.

**

Satu jam benda pipih itu tergeletak di atas wastafel. Takut, gamang, penasaran, dan resah berbaur seperti pusara yang berusaha menenggelamkan diri Alika. Ia duduk di toilet duduk tanpa minat berpindah dan matanya lekat memandang benda pipih berbentuk persegi. Sudah sepuluh hari kejadian itu berlalu. Harusnya bila apa yang Alika baca melalui internet benar, tes ini bisa dilakukan mandiri, bukan?

Alika mendesah. Ia merogoh ponsel dari saku piama bergambar Hello Kity yang dikenakan. Jarinya menelusur pada sekelompok pesan WhatsApp di layar. Tak satu pun ada nama Raga di sana. Semua pesan dari Alika tak berbalas meski centang biru semua.

Ke mana cowok itu? Apa iya Raga sibuk ikut bimbel demi masuk perguruan tinggi impiannya seperti teman-teman yang lain? Apa ... lari dari tanggung jawab?

Alika menggeleng kuat-kuat. Tidak! Raga sepertinya bukan tipe laki-laki seperti itu. Dalam ingatan gadis bermata cokelat itu, masih terbayang jelas bagaimana Raga berucap maaf berkali-kali di telinganya saat Alika terus tersedu menangisi perbuatan mereka malam itu. Meski ia sadar, semua terjadi karena kecelakaan.

Untuk mengakhiri kecemasannya, Alika membulatkan tekat. Ia segera mencelupkan benda pipih itu ke dalam cawan berisi urin. Tak mau langsung menerima kenyataan pahit, mata gadis berambut lurus sebawah bahu itu memejam kuat. Perlahan ia membuka mata sedikit lalu membelalak saat menemui garis merah di sana.

Alika terduduk kembali di atas toilet, lemas sekaligus lega. Kakinya seperti tak ada daya untuk berdiri saking leganya. Badan yang semula tegang serasa melemas dan terasa ringan.

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang