49. Dekap Hangat di Waktu yang Tepat

4.2K 938 71
                                    

Hai, selamat pagi!
Maafkan up dini hari. 😅

Vote dulu sama komentar yang banyak biar ramai.

Terima kasih. 🥰

Happy reading! 🥳

====💐💐💐====

Perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh hanya empat jam, rasanya menyesakkan ketika terlalu banyak beban dalam pikiran saat melewatinya. Jarum arloji di pergelangan tangan bergerak teramat lambat, macet mengular yang memaksa laki-laki itu harus memijak rem sebentar-sebentar, kemudian jalanan padat merayap mendadak macet total ketika di depan sana kecelakaan lalu lintas terjadi.

Raga menggeram seraya menelungkupkan wajah di atas setir mobil. Beberapa kali ia harus menepuk-nepuk dadanya agar tetap bersabar dan tenang meski pikirannya melayang pada perempuan di sana. Tak ada satu panggilan pun yang terangkat. Alika mengabaikannya.

Ia tak mau lagi Alika menangis sendirian seperti tujuh tahun lalu. Yang Raga inginkan hanya segera sampai, membiarkan Alika-nya menangis bersamanya. Raga berjanji kali ini tak akan pergi lagi.

Sampai akhirnya bunyi klakson beruntun di belakang mobil yang dikemudikan Raga menyadarkannya. Kendaraan di depan mulai merayap pelan, membawa sedikit kelegaan. Lalu, suara getar ponsel di jok samping kemudi membuat laki-laki itu cepat mengulurkan tangan untuk meraih benda pipih yang tergeletak di sana.

Foto profil Alika berpendar-pendar.

"Al!" Tanpa sapa, Raga memanggil cepat. Begitu ponsel menempel di telinga.

"Ya?" Suara lemah dan serak itu terdengar.

"Jangan ke mana-mana. Tetap diam di rumah, aku segera sampai."

Tak ada sahutan apa pun. Hanya ada suara satu helaan dan embusan napas berat sebelum perempuan di seberang sana berkata, "Aku lagi di pasar bunga, Rawa Belong."

Pikiran Raga semakin kalut mendengar pengakuan itu. "Ngapain sepagi ini di situ? Kita pulang sama-sama. Aku ...."

"Aku lapar tadi." Alika menyela. Dari seberang terdengar suara banyak orang saling berbicara dan kendaraan lewat. "Pengen makan kue pancong setengah matang. Tiba-tiba kepikiran makanan itu."

Laki-laki itu terdiam, berusaha mengerti, memberi jeda perempuan yang sesekali terdengar sedang menyusut ingus, mungkin masih ada sisa tangis yang tertinggal, lalu Alika terkekeh pelan.

"Maaf ...," kata Raga pada akhirnya.

"Nggak papa ...." Alika mengembuskan napas panjang.

Manik kelam Raga masih menatap jalanan di depan sana. Mulai lengang dan ia sedikit mempercepat laju mobil setelah meletakkan ponsel pada phone holder dan menekan ikon loudspeakers.

Maaf karena untuk kedua kalinya aku nggak ada di saat kamu butuh sandaran.

Telepon itu tetap terhubung sampai dua menit berlalu. Hanya terdengar suara berisik area sekitar pasar yang familiar di telinga Raga. Tempat obrolan-obrolan naif keduanya membicarakan banyak mimpi dulu semasa SMA, sambil membeli jajanan, dan pulang membawa beberapa bunga yang mereka beli di pasar bunga, kalau ingin.

"Ga, ponselku mau habis baterai. Aku matiin, ya?"

Raga terkesiap. "Jangan ke mana-mana. Aku segera sampai. Kita pulang ...."

Sambungan terputus. Layar ponsel menggelap. Raga mengulurkan tangan kiri, mencoba menghubunginya lagi. Namun, nomor yang ia tuju sudah tidak aktif.

"Kalau omanya minta dia buat gugurin kandungannya, apa lo bisa tenang di sini?"

Sang PerawanWhere stories live. Discover now