51. Yang Singgah Hanya Sejenak

4.2K 979 104
                                    

Hai, selamat hari Senin lagi. 😆

Aku juga libur nggak ke mana-mana ini, Gaes. Sibuk momong anak. 🤭

Semangat buat para mamak-mamak. Semangat buat yang masih harus bekerja di saat yang lain pada liburan. Yang liburan, jangan lupa oleh-oleh buat saya! 🤣

Happy reading.

Vote-nya sama komentarnya yang kenceng, ya, Gaes. Terima kasih. 🥰🤗

====💐💐💐====

Udara dingin menyergap hingga ketulang ketika laki-laki berwajah kusut itu turun dari mobil. Suasana halaman rumah dengan kolam ikan mini itu senyap. Bunga-bunga tampak basah karena embun.

Raga menghela napas panjang seraya menjejak ke teras dengan sepeda Fixie yang bertengger apik di dinding sisi kiri. Ia menyadari pemilik rumah ada di dalam kala lampu di langit-langit teras dipadamkan karena di luar mulai sedikit terang.

Raga memutar kenop pintu dan mendapati laki-laki berkacamata itu tengah sibuk di ruang tamu. Di meja kaca hadapannya, beberapa lembar kertas tercecer sedang ia periksa.

"Eh, pagi bener balik ke sini? Gimana Al—" Eko bungkam saat mendongak dan menemukan wajah Raga tak baik-baik saja. "Lo habis berantem sama Beni lagi, Ga? Muka bonyok gini kenapa?" tanyanya seraya menatap ngeri pada laki-laki yang kini duduk seraya merebahkan kepala pada sandaran sofa.

"Dikasih ganjaran sama bokapnya Alika," sahutnya sambil memejam lelah.

Semalaman ia tak sanggup tidur. Pun sama dengan Rahayu. Keduanya menunggui Alika yang sebentar-sebentar terbangun mengeluhkan banyak hal. Andai bisa, Raga mau menggantikannya. Biarkan saja dirinya yang terbaring di atas ranjang pasien dan merasakan sakit.

"Alika ...." Eko menggerakkan dua tangan di depan perut, memeragakan perut yang membesar.

Anggukan Raga sontak membuat sahabat sedari SMA itu berdecak kemudian menatap iba. "Kan, gue bilang juga apa. Terus lo mau gimana?"

Raga menggeleng tak tahu pasti. "Alika di rumah sakit. Gue baru ini balik ke sini, cuma buat mandi. Lo nggak apa kerja sendiri hari ini?"

"Santai ajalah. Yang penting lo tanda tangan aja di sini." Eko menyerahkan berkas perjanjian kerja sama ke hadapan Raga.

Laki-laki yang semula merebah lelah itu menegakkan punggung dan meraih pena.

"Sehat, kan, kandungannya, Ga?" Eko kembali memecah keheningan.

Raga menggeleng dengan tatapan kosong di atas lembaran bertanda tangan di atas meja. "Gue sama Alika cuma lagi mencoba mempertahankannya."

Laki-laki berkacamata minus itu menghela dan mengembuskan napas panjang, ikut merasakan sesak. Ia menepuk bahu Raga sedikit kuat. "Gue yakin lo sama Alika bisa lewatin ini semua."

Dan berbicara dengan Eko selalu bisa membuat Raga sedikit lebih tenang. Eko tak pernah menghakimi. Rekannya itu lebih banyak menguatkan dan percaya Raga bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Eko hanya membantu menghendle apa yang perlu ia bantu tanpa harus ikut campur ke dalam privasi sahabatnya.

"Eh, gue semalam beres-beres sampah, kan, masa gue nemu cincin di keranjang sampah kamar lo. Lo ada buang cincin?" Eko merogoh saku kemeja. Benda kecil melingkar itu segera ia letakkan ke atas meja.

Raga mengerjap menatap cincin emas putih yang sempat ia buang. Cepat-cepat ia meraih perhiasan itu. Namun, Eko lebih gesit mengambilnya kembali.

"Jadi bener punya lo? Gue jual, dah, mayan buat persiapan lahiran bini gue." Eko tergelak.

Sang PerawanWhere stories live. Discover now