35. Ketika Kita Harus Bicara dan Memilih

3.1K 858 120
                                    

Cie, yang masih aja emosional sama Raga. Cinta banget pasti kalian, yak? Diem-diem perhatian. 🤣

Authornya dikeplak! 😆

Btw, ini konflik masih nanjak, ya, tapi udah mulai turun. Aku capek nanjak terus. Jadi mau perlahan turun. Biar cepet tamat ini cerita. 😂

Happy reading. 😘

====💐💐💐====

Alarm ponsel berdering entah yang keberapa kali. Pemilik kamar masih saja enggan bangkit, memilih meraba-raba permukaan kasur, mencari sumber suara. Namun, lagi-lagi ujung jari perempuan itu memilih menekan ikon abaikan usai memicingkan sebelah mata, menilik layar ponsel sejenak. Pukul 10 pagi.

Sinar matahari yang mengintip melalui celah gorden tak diacuhkan. Ia memilih menenggelamkan diri lebih dalam pada gulungan selimut rajut cokelat susunya.

Tak ada hal yang Alika lakukan semalam. Ia terjaga penuh sampai subuh menjelang. Wajah sinis dan tekanan dari Kei serta Mala di acara reuni mengusik terus menerus. Dari diam dan pasrahnya Raga bak boneka malam itu, Alika bisa melihat Raga tertekan. Dari cara Beni menceritakan suksesnya Raga atas bantuan keluarga besar sang paman--Seto--Alika tahu Raga seperti sedang diinjak harga dirinya sampai habis.

Lalu, restu dari keluarga terlintas di pikiran Alika selanjutnya. Cara Oma Ratri yang terus menerus mengintimidasi, membandingkan, merendahkan, menolak mentah-mentah segala bentuk usaha Alika dan Raga mendapat restu. Melelahkan, menjemukan, tapi terlalu sakit kalau harus menyerah begitu saja.

Alika bimbang. Bukan tak mungkin Raga akan meninggalkannya lagi, atau justru Alika sendiri yang menyerah nantinya karena tak kuat mendapat tekanan-tekanan baik dari keluarga Alika maupun Raga. Pada dasarnya, hubungan mereka terlalu rumit dan berisiko untuk berlanjut. Belum lagi godaan-godaan dari Tama dan Kei yang tak memutus kemungkinan mencuatkan cemburu dan pertengkaran kecil ia dan Raga nantinya.

Alika hanya ingin bahagia. Tapi kenapa sesulit dan sesesak ini?

Dalam masa terjaga dan memikirkan segala kemungkinan tentangnya dan Raga, tengah malam Alika masih bisa mendengar roolling door dibuka, langkah perlahan di teras belakang, kucuran air keran sesekali, lalu suara bersin tertahan. Mungkin takut mengganggu tidur sang pemilik toko. Yang sayangnya, meski tak diganggu, Alika tetap merasa terusik dengan kehadirannya.

Raga kembali. Praduga mengenai laki-laki itu akan pergi lagi tanpa pamit dan penjelasan seperti tujuh tahun lalu terpatahkan.

Ia ingin turun, ingin melontarkan banyak tanya. Namun, suasana hatinya yang sedang tidak baik menjadi pertimbangan dirinya tetap bertahan di tempat untuk mendinginkan kepala. Memikirkan keputusan apa yang harus ia ambil.

Sampai akhirnya, Alika tak kuasa lagi menahan kantuk ketika keputusan itu ia ambil. Sebuah keputusan yang dipilih karena rasa lelah tak berkesudahan.

**

Kelopak yang masih terasa berat terbuka perlahan. Satu-satunya benda yang Alika tatap pertama kali adalah amplop cokelat yang semalam dipersiapkan sebelum beranjak tidur. Dengan tubuh lesu dan lingkaran hitam di kedua mata, wanita itu bangkit, menyingkap selimut, kemudian melangkah ke arah wastafel di kamar mandi.

Wajah sayunya terasa lebih baik ketika sentuhan air dingin dari keran membasuh perlahan. Ia sempat menatap cermin, memastikan lagi bahwa esok tak boleh ada lagi wajah menyedihkan semacam ini. Hari ini saja, lalu besok dan besoknya lagi, semua akan baik-baik saja. Iya, kan? Bukankah waktu tujuh tahun sudah cukup memberinya pelajaran bertahan hidup tanpa siapa pun di sisinya?

Sang PerawanWhere stories live. Discover now