43. Dia yang Menghilang

3.1K 885 137
                                    

Hai, maafkan baru update.
Aku lagi batuk parah dan bikin seminggu ini sulit tidur nyenyak. 🥲

Siapa yang nunggu adegan manis? 😆

Ini nih baru mau mulai, ya. Sabar. 🤭


Happy reading. Vote sama komen tebaran bunga, Gaes. 🥰🤗


====💐💐💐====


Perempuan yang sedang duduk di bangku penumpang itu terdiam, menatapi paper bag di pangkuan. Sudah berkali-kali ia meminta Dadang mengantar pakaian-pakaian dalam tas kertas itu. Sayangnya, laki-laki paruh baya yang bekerja di Alika Florist itu selalu pulang dalam keadaan sama.

"Apartemennya kosong. Saya udah tanya sama Pak Satpam yang jaga, tapi jawabnya nggak tahu juga."

Alika menggigit bibir. Tangannya meremas tepi tas kertas cokelat di pangkuan. Ke mana laki-laki itu pergi?

Sialnya, kabar dari Karin semalam waktu mampir bersama Arya untuk membeli bunga, membuat Alika justru semakin gelisah.

"Kata Mas Arya, udah beberapa minggu emang apartemen Mas Raga kosong. Tapi kata Mas Arya, Mas Raga udah biasa ngilang kayak gitu. Entar juga balik lagi. Ya, kan, Mas?"

Pernyataan Karin mendapat anggukan dari Arya yang sedang memilih foto buket bunga. Anggukan penegasan yang membuat Alika semakin merasa penasaran kenapa Raga menghilang. Padahal beberapa kali Alika kerap menemukan laki-laki itu masih sempat menengok snap WhatsApp Alika, memberikan reaksi berupa emotikon tersenyum pada foto bibit matahari yang mulai tumbuh subur.

Apa Raga tidak ingin lagi menjalin persahabatan seperti dulu?

"Mbak Alika jangan egois, dong. Mas Raga, kan, juga punya perasaan. Wajar kalau dia butuh waktu buat menyendiri. Mbak Alika enak, putus terus dapat Mas Tama. Mas Raga?" Mirna sama saja. Gadis itu malah sempat-sempatnya mengomel semalam ketika sedang membuatkannya makan malam dan mendengar Alika bergumam tentang ke mana Raga pergi.

Agaknya, Mirna mulai sensitif akhir-akhir ini dengan segala perubahan Alika. Namun, setiap kali gadis itu berkata-kata, Alika jadi banyak merenung, mendekati murung.

"Sudah sampai, Mbak." Suara sopir taksi yang Alika tumpangi membuyarkan lamunan.

Perempuan itu tergesa turun. Ia berduri tertegun memandangi lobi apartemen sejenak setelah menutup kembali pintu mobil dan taksi itu berlalu. Untuk sampai berani menapak ke tempat ini, Alika harus mencari seribu alasan pada Oma yang tadi pagi sempat menyambangi toko bunga. Ia bilang ada acara ke tempat suplier bunga hari ini.

Meski perempuan sesepuh itu kerap bersikap tak realistis menjaga cucunya, Alika terkadang masih sadar bahwa Oma Ratri masih punya rasa sayang. Pagi ini ia datang ke toko, membawakan sup iga sapi untuk Alika.

"Makan yang banyak, biar gemukan dikit," pesannya sebelum pulang lagi bersama sopir pribadi Pras.

Sayang, bukan sup iga sapi yang Alika ingin. Alika mau semangkuk pengertian bahwa ia adalah cucunya yang punya perasaan dan mimpi. Sup itu berakhir hanya dipandangi dengan tatapan sendu. Alika tak selera makan. Lagi-lagi hanya selembar roti dan segelas susu yang ia jadikan bahan bertahan hidup.

Alika mengembuskan napas panjang. Kaki berbalut flat shoes-nya menapak anak tangga, memasuki lobi. Bibir berpulas lipstik pink pastel itu tersenyum canggung ketika bertemu tatap dengan pria berpakaian satpam.

Langkah Alika cepat memasuki lift. Ia menekan nomor lantai di mana unit apartemen Raga berada. Namun, belum sempat tertutup sosok pria berjaket denim itu menyelinap masuk. Alika cepat menyingkir, menepi ke dinding begitu sinis pria jangkung bertubuh kurus kering itu tertuju padanya.

Sang PerawanWhere stories live. Discover now