13. Sang Dandelion

5.2K 1K 50
                                    

Pria itu berjalan ke sana kemari dengan dua lengan kemeja tergulung sampai siku. Ia datang paling pagi meski segenap kru WO yang dipimpin belum hadir. Bergerak cepat dan tak segan ikut turun tangan.

Ketika mendekat ke tim penyedia sarana, Raga bisa ikut membantu menata kursi, memberikan arahan sesuai konsep. Ketika mendekat ke arah tim dekorasi, laki-laki itu juga tak segan membantu karyawan Alika menurunkan alat dan bahan dari mobil yang Dadang bawa.

Koordinasinya cepat, sikapnya tangkas, dan tak suka hanya berdiam diri dan memerintah. Padahal, menurut Alika, sebagai direktur, Raga bisa saja menunjuk leader untuk menggantikannya.

Ketika Alika masih saja memperhatikan pergerakan laki-laki itu di pelataran belakang keluarga Karin, seolah ada ikatan batin, Raga menoleh padanya. Membuat perempuan yang sedang berdiri di dekat jendela pantry itu tersentak karena malu. Ia buru-buru meraih gelas sirup dinginnya, mengalihkan perhatian. Sayang, ketika Alika kembali menatap ke arah Raga, laki-laki berkemeja putih dengan walkie talkie di tangan kanan itu sedang tersenyum padanya.

Alika sama tersenyum kemudian. Lalu ia menghela napas dalam-dalam ketika Raga sudah kembali sibuk bekerja. Ada ganjalan yang dirasa mengganggu pikiran perempuan itu sejak seminggu yang lalu, sepulang dari rumah Rosita. Ia ingat di hari berikutnya, pada pagi hari seperti biasa, Raga membeli bunga.

"Ada lowongan pekerjaan di sini? Tukang kebun misal?" tanyanya kala itu.

"Ha-hah? Siapa yang mau jadi tukang kebun memang?" Alika mengerjap kebingungan. Kertas cellophane yang sedang ia kerut mendadak terlepas dari jepitan dua tangannya.

"Aku. Aku berpengalaman ikut ngerawat kebun bunga Mama." Raga menjawab sembari menelisik seisi ruangan dan jajaran stok bunga. "Aku capek kerja di WO," katanya masih dengan sikap santai, tanpa menatap lawan bicara.

"Ga ...."

Dipanggil dengan nada lebih pelan dan lembut, pria itu menoleh. "Hm?"

Alika tahu laki-laki di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Terlebih sejak pertengkarannya dengan Beni di rumah Rosita, Raga memang jauh lebih banyak diam dan melamun.

"Nggak selamanya semua hal bisa kamu pendam sendirian. Kamu bisa berbagi denganku atau siapa pun yang kamu percaya kalau kamu memang nggak sedang baik-baik saja." Alika menunggu, membiarkan cowok berhidung bangir itu berpikir sejenak.

Dan pada akhirnya, ketika laki-laki itu mau membagi sedikit mengenai kerumitan hidupnya, ada dua hal yang saling berlawanan dan membuat Alika gelisah. Di satu sisi ia senang Raga mau berbagi dengannya saja. Tapi satu sisi lainnya, Alika bimbang ketika Raga mencintainya. Sebab mencintai Alika, sama saja harus melepas semua hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun.

"Kita nggak mungkin bisa sama-sama kalau aku tetap bertahan di bisnis keluarga, Al."

Sama seperti keluarga Alika, nyatanya, keluarga Raga juga tak lantas memberinya restu mereka bersatu. Kenapa?

**

"Heh, ngalamun aja ini anak!"

Satu tabokan di lengan kanan Alika membuat wanita itu mengaduh. Wajah ayunya mendadak cemberut ketika sebagian sirup dalam gelas tumpah, membasahi jemari.

"Apa, sih, Rin?!" geramnya sebal.

Karin berdecak pelan. Perempuan dengan rambut tergelung rol itu memutar bola mata, memilih meraih gelas dalam kabinet. "Lo lagi liat apa ke luar sana?"

Bibir Alika mencebik. Ia sibuk mencuci tangan di atas wastafel cuci piring. Namun, wanita berkemeja biru belel itu menghela napas kemudian sebelum akhirnya melontarkan pertanyaan, "Kalau misal Arya harus melepas pekerjaannya demi lo, lo gimana, Rin?"

Sang PerawanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora