8. Gardenia Oma yang Layu dan Pertemuan

9K 1.6K 122
                                    

"Lo udah janji mau bujuk semua orang buat berhenti ngrecokin hidup gue kalau gue mau jadi vendor dekorasi buat acara kawinan elo, kan?" Alika memasukkan ponsel ke dalam tas tangannya sedikit kasar.

Kali ini Karin keterlaluan. Di depan vendor yang lain, sepupunya itu tega memaksakan kehendak pemilihan bunga sesuai keinginan Oma Ratri. Alika jelas terpojok. Ia tak mungkin mendebat Karin di depan vendor lain.

"Al, lo marah, ya? Sorry ...." Gadis berkucir kuda itu merengkuh lengan Alika.

Semua vendor sudah berlalu. Rapat telah usai sejak tiga menit yang lalu. Raga sendiri sibuk mengantarkan vendor lain ke luar ruangan bersama sekretarisnya.

"Menurut lo?" Alika menatap tak suka.

Karin menarik kedua tengan, memainkan ujung jari telunjuk di depan dada dengan mata berkaca-kaca. Lagi. Merajuk.

"Kan, gue udah berusaha ambil titik tengah. Dekorasi pelaminan boleh pakai mawar putih, tapi buket sama korsase-nya pakai gardenia."

"Menurut lo itu adil?"

Gadis di hadapan Alika itu makin tertunduk takut. "Maaf, Al."

"Rin, ayo, balik!" Suara Arya menginterupsi perdebatan.

Alika mendesah pasrah. Malas melibatkan Arya, ia melepaskan sepupunya pulang bersama calon suaminya. "Sana pulang. Percuma debat panjang sama elo. Air mata lo bikin gue gemes," geram Alika tertahan.

Yang dibilang menggemaskan meringis lebar, lalu memeluk erat sebelum berlari menyongsong gandengan Arya. Sementara Alika hanya mampu menghela napas panjang seraya menengadah dan menumpukan kedua tangan di sisi meja.

Raga baru saja berlari kecil memasuki ruangan hendal menghampiri sang florist ketika ponsel di tas bergetar minta perhatian. Lelaki itu berdiam diri sejenak di sisi Alika, membiarkan perempuan itu mengangkat telepon dari nomor Rahayu.

"Al, bunga kaca piringnya, kok, pada layu gini?!" Suara dari seberang sontak membuat telinga Alika pengang.

Suara tangis Oma Ratri meraung-raung tak jelas.

"Kok, bisa? Kenapa?"

"Pokoknya kamu pulang! Oma mau kamu pulang!"

Alika menarik napas dalam. Sabar dan lakukan apa yang Oma mau. Itu kunci menyelesaikan masalah ini. Oma Ratri kalau sudah menangis pasti merepotkan orang satu rumah.

"Oke, Alika ke situ. Oma yang tenang."

Raga menaikkan kedua alis, menanti cerita wanita--yang kalau tak keliru dia ingat--sudah tiga kali menarik lalu mengembuskan napas.

"Tanaman bunga gardenia Oma di rumah Mama layu, Ga. Oma kalau udah nangis gini susah dieminnya. Aku pulang, ya?" Alika berpamitan.

Namun, belum sempat perempuan berblus putih tulang itu melangkah, ia menarik lembut lengannya. "Aku anter, ya. Kali aja bisa bantuin kamu. Aku soal bunga dikit-dikit tahulah."

Binar di kedua manik cokelat itu tampak, mengundang senyum di bibir lelaki yang menanti jawaban.

"Boleh, deh!"

**

Bunga kebanggaan Oma Ratri tampak kuyu. Hampir semua bunga mulai menguning dengan daun tertua yang layu. Setengah jam berlalu lelaki di sisi Alika itu menggali tanah, memotong akar yang lembek karena busuk.

Alika sama bersimpuh, memberikan gunting dan sekop ketika dibutuhkan. Kemeja putih pria itu sudah kotor. Pun sama dengan blus Alika yang mulai basah karena keringat.

"Kalau tanahnya enggak kering banget, jangan kebanyakan disiram, Oma. Akarnya bisa busuk, layu jadinya," celetuk Alika seraya melirik ke arah perempuan berkebaya di bangku panjang.

Sang PerawanWhere stories live. Discover now