20. Penguasa Kunci Cadangan

3.6K 940 93
                                    

Perempuan bertubuh gempal itu berdecak sembari menekan layar ponselnya sebal. Sudah tiga kali ia menelepon Alika. Namun, panggilan dari sang oma terabaikan begitu saja.

"Ra sopan! Orang tua telepon, kok, panggilannya ditolak terus! Anak wedokmu iki, lho, Yu! Mbok diajarin sopan santun sama orang tua!" Oma mengomel ketika panggilan keempat ditolak lagi.

Rahayu yang tengah menyendok sesuap salad buah di meja makan itu tersenyum masam. "Maaf, Oma, mungkin Alika masih di jalan. Kan, Oma sendiri yang bilang kalau dia pergi ke Bandung."

Oma Ratri berdecak lagi, melirik sinis ke arah menantunya sembari mengempaskan bokong lebarnya ke stool bar di pantry. "Oma itu khawatir. Udah malam, masa belum pulang dari Bandung. Berangkat sama siapa? Laki-laki apa perempuan? Atau jangan-jangan sama tukang kebunnya yang baru bekerja pagi ini?"

Kening Rahayu mengernyit penuh tanya. "Tukang kebun? Pak Dadang maksudnya?"

Perempuan tua yang duduk berseberangan dengan menantunya itu menipiskan bibir, mengejek ketidaktahuan Rahayu seraya mengipasi diri dengan kipas lipat bergambar bunga sakura. Gerah dengan segala gelisah memikirkan keberadaan cucu perawannya. "Itu, lho, anak muda yang bantuin benerin kembang kaca piring Oma tempo hari."

Mendengar jawaban ibu mertua, Rahayu meletakkan sendok ke atas piring saladnya lalu mendongak. "Maksud Oma, Raga?"

"Nah, iyo! Yang Pras nggak seneng kalau Alika sama dia. Oma juga lebih setuju sama Tama, sih. Lebih mapan, pria kantoran."

"Oma ...."

Oma Ratri mengangkat tangan, memotong kalimat sang menantu begitu saja. "Oma minta Tama buat tengokin Alika aja ke toko bunganya."

Rahayu menelan ludah getir. Ia mendadak tak selera menghabiskan makanan di meja. Perempuan yang masih dalam posisi duduk itu memandangi kepergian mertuanya. Oma Ratri tampak menekan-nekan layar ponsel sambil lalu, kemudian terdengar obrolan yang semakin samar bersama Tama di seberang telepon.

Istri Pras itu mendesah panjang dengan riak di pelupuk mata yang mulai menggenang. Selalu saja begitu. Rahayu harus mengalah dengan ibu mertuanya agar tak berbuntut panjang, bertengkar dengan Pras.

**

"Datang lebih pagi besok, ya? Aku mau nanam biji bunga ini di halaman belakang. Masih ada space yang kosong." Alika menggoyang sejumput biji bunga matahari dalam plastik kecil di tangan kanan tepat di depan Raga.

Lelaki itu berkacak pinggang sembari memutar bola matanya. Namun, senyum itu mengiringi pergerakan Raga, pertanda ia tak keberatan. "Siap, Nyonya! Tapi besok siangan aku ke kantor, ya? Mau beresin barang-barang sama antar surat pengunduran diri."

Kalimat terakhir dari bibir pria itu membuat raut ceria Alika amblas seketika. Keduanya terdiam, saling bertatapan di bawah anak tangga sebelum Alika naik ke ruangan pribadinya.

"Nggak ada cara lain selain resign, Ga?" tanyanya setengah berbisik.

Raga menggeleng, masih dengan senyum. "Aku baik-baik aja. Nggak akan mati kelaparan meski nggak jadi direktur lagi, kan?"

"Tapi, Ga ...."

Tak ingin mendengar bujukan apa pun untuk bertahan di perusahaan sepupu jauhnya, Raga meraih kepala Alika, mengecup singkat kening perempuan itu. "Tidur yang nyenyak. Besok bakalan capek berkebun bareng lagi," pungkasnya.

Alika sempat menahan napas sejenak, lalu mengembuskannya perlahan begitu ciuman di kening itu usai. Ia mengangguk pelan, memaksakan senyum meski tetap saja ganjalan itu mendesak dadanya.

Raga sempat mengusap pelan puncak kepalanya, sebelum beranjak.

"Tunggu, Ga!" panggil Alika seraya merogoh saku tote bag di bahu kirinya. Ia meraih tangan kanan Raga dan meletakkan beberapa anak kunci di atas telapak pria itu. "Kunci rolling door samping, toko, sama yang lainnya. Mirna sama Pak Dadang punya juga. Kamu berhak punya sebagai karyawan Alika Florist."

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang