11. Menentang Restu

6K 1.1K 58
                                    

Yang terjadi usai ciuman pertama setelah tujuh tahun berpisah, Raga selalu mencari kesempatan dan segudang alasan agar bisa bertemu. Pun Alika tak pernah menunjukkan keberatan. Perempuan itu tak pernah menolak setiap pesanan buket bunga tangan atau meja dari Raga. Hampir setiap pagi dan setiap hari pria itu memesan bunga.

"Lo nggak alergi apa, tiap hari pesan bunga melulu. Di meja ruang tamu ada bunga. Di meja ruang santai ada bunga. Di meja kamar tidur ada bunga juga. Lo nggak lagi sakau bunga, kan, Ga?" Arya pernah menyelidik keheranan ketika menyambangi apartemennya.

Raga lupa mengganti password pintu apartemen. Untuk kali ini, ia harus pasrah menerima cecaran sahabatnya ketika menemukan label Alika Florist.

"Alika? Lo tiap hari beli bunga ke Alika? Modus lo ketahuan banget, Ga!" Arya berdecak pelan seraya menggulung lengan kemeja sampai siku. Laki-laki itu berkacak pinggang, menatap dengan sorot mata tajam ke arahnya.

Raga hanya mendesah. Ia tak mau bersuara banyak sebab semakin sering menyangkal, semakin menunjukkan kebenaran. Laki-laki yang sedang mengaduk kopi sepulang dari kantor itu berlalu saja membawa cangkir ke balkon. Namun, langkahnya tertahan begitu Arya mencekal lengan kemeja putihnya.

"Heh, lo belum kasih penjelasan soal ini semua! Jangan main-main sama anak gadis orang. Lo serius apa cuma main-main sama Alika?"

"Yang bilang gue nggak serius sama dia tuh siapa? Gue juga nggak bilang mau main-main sama dia." Kali ini Raga berbalik menatap tajam pada Arya.

"Gue nggak bakal berprasangka lo lagi main-main sama Alika kalau nggak ada Kei di antara kalian berdua! Lo lupa apa amnesia?"

"Ya, itu urusan gue. Lo kenapa ikut campur?" Raga bergumam lirih seraya membuang muka.

Arya berdecak kesal. "Jelas jadi urusan guelah! Alika itu sepupu Karin, bakal jadi saudara gue juga. Apa kata Karin kalau tahu sepupunya lo deketin gini?"

Usai mengatakan kalimat bernada keras itu, Arya berlalu, meninggalkan apartemen Raga. Laki-laki itu sempat membanting pintu depan, membuat Raga memejam dan menghela napas panjang. Ia meletakkan kopi hitamnya ke meja ruang tengah, merebahkan diri tanpa minat di sofa panjang.

Raga tahu hubungannya dengan Alika akan semakin rumit. Mendekatinya saja sudah menandakan ia sedang melawan restu banyak orang. Sayangnya, tidak akan ada yang mengerti Raga dan Alika. Sebab apa yang terjadi tujuh tahun lalu hanya mereka berdua yang tahu.

**

Pagi ini seperti ada yang kurang. Alika sudah bangun lebih pagi, memakai pakaian terbaik, dan memulas sedikit wajahnya dengan make up tipis. Ia duduk di meja kasir bahkan sebelum Mirna sempat membersihkan mejanya dengan kemoceng seperti biasa.

Alika menunggu. Sampai akhirnya perempuan bergaun putih tulang tanpa lengan itu menyerah. Wajah cerah Alika berubah murung. Tatapan yang semula berbinar setiap pelanggan datang, tiba-tiba meredup. Sampai hampir menjelang siang ponsel yang ditunggu-tunggu memunculkan notifikasi pesan dari seseorang pun tak berdenting.

Apa laki-laki itu tak datang hari ini? Kenapa?

Alika hampir berniat naik ke kamarnya, meninggalkan Mirna dan Dadang yang berjaga sampai malam nanti. Namun, tubuh ramping perempuan itu sigap berbalik begitu lonceng yang tergantung di atas daun pintu kaca toko bunganya bergemerincing. Yang mulanya disangka tak datang, nyatanya datang sesiang ini. Pria itu tersenyum tipis, mendekat ke arah Alika.

Perempuan itu sama tersenyum. "Kirain nggak datang hari ini," gumamnya pelan hampir seperti berbisik.

"Aku kehabisan alasan," celetuk Raga sama berbisik.

Sang PerawanWhere stories live. Discover now