31. Menuntut Kesempatan

3.1K 723 56
                                    

Hai, selamat malam!

Maafkan update tengah malam-malam.


Ramaikan dulu komentarnya, dong. 🥳


Happy reading! 🥰


====💐💐💐====

Kalau saja jalan untuk mendekati gadis bermanik cokelat terang itu mudah, Tama lebih memilih bersegera menikahinya. Sayangnya, restu yang ia dapat dari pihak keluarga Alika tak cukup mempermudah segalanya. Gadis itu menutup diri, membalas sapa seperlunya. Bahkan ketika Tama berkunjung ke rumah orang tua sang gadis, Alika menjadi satu-satunya anggota keluarga yang memilih banyak diam. Sesekali tersenyum bila Rahayu melontarkan candaan. Senyum manisnya berubah masam kalau Oma Ratri yang berkelakar.

Bukannya Tama tak mau berusaha. Beberapa kali ia kerap mencoba mendekat dengan berkirim pesan singkat. Namun, pesan balasan yang Alika lontarkan menunjukkan bahwa ia tak ingin memperpanjang obrolan. Telepon pun lebih sering diabaikan. Dan Tama cukup tahu diri untuk tidak memaksa. Alika butuh waktu, tapi sampai kapan? Bahkan sepulang dari acara resepsi Karin, ia sudah menyatakan dengan gamblang kalau ingin mencoba menerima perjodohan ini.

Mulanya, pria yang sedang duduk gelisah di balik kemudi mobil itu merasa tenang karena sudah menggenggam harapan berupa restu ayah sang gadis. Namun, lambat laun perihal kekasih dari masa lalu Alika amat mengusiknya. Laki-laki itu tampak tenang dan percaya diri meski Oma Ratri secara terang-terangan menekannya.

Ego Tama tersentil setiap perempuan sesepuh keluarga Pras itu menceritakan kedekatan Alika dan Raga di toko bunga. Tama jelas terganggu dan merasa apa yang seharusnya jadi miliknya seolah direnggut paksa. Semalaman ia berpikir, sepertinya restu saja tak cukup. Seperti kata Oma Ratri, Tama harus bergerak lebih cepat. Dan ia kini tak perlu lagi sungkan untuk menunggu. Yang diperlukan hanya bergerak maju, jangan biarkan ada celah untuk Raga hadir di antara dirinya dan Alika.

Laki-laki itu menginjak rem perlahan, menghentikan mobil tepat di halaman Alika Florist. Hari mulai senja, sinar jingga mulai menerpa dinding-dinding kaca depan toko. Tama sempat menghela napas sejenak sembari mengedarkan pandangan ke dalam sana. Tak ada Alika di sana. Mirna dan Dadang tampak sedang membersihkan sisa-sisa kuntum bunga dan daun di meja yang terserak di atas meja.

Ia belum sempat berganti pakaian. Lengan kemeja panjangnya tergulung sampai siku. Jas hitam yang semula dipakai sudah tergeletak di jok belakang mobil bersama satu paper bag berisi buah tangan sepulang dari perjalanan dinasnya selama beberapa hari di Bogor. Tangan kiri Tama terulur meraih tiga kotak lapis talas Bogor dalam tas kertas. Ia turun kemudian dan mengulas senyum begitu Mirna yang semula tertunduk terkejut menyadari kedatangannya.

"Eh, Mas Tama! Baru pulang dari kantor?" sapanya ramah. Gadis berkucir kuda yang mengenakan apron cokelat tua itu meletakkan kembali beberapa kuntum bunga ke meja.

"Dari Bogor langsung ke sini. Pak Dadang apa kabar?" Tangan Tama cekatan merogoh isi tas kertas, meletakkan satu kotak kue lapis ke hadapan dua karyawan Alika.

"Baik, Mas!" Dadang mengembangkan senyum semringah.

"Mau saya panggilkan Mbak Alika, Mas? Mbak Alika baru naik ke ruangannya lima menit yang lalu," ujar Mirna. Manik hitam gadis itu menilik arloji rantai di pergelangan tangan kirinya.

"Nggak usah, biar saya yang nyamperin aja. Kamu makan kue aja sama Pak Dadang." Tama mendekatkan kotak kue tepat di hadapan Mirna.

Gadis lugu itu tampak berbinar. Ia mengangguk-angguk girang seraya bertepuk tangan kecil. Mirna tak ragu menyeret kursi mendekat ke meja lalu membuka isi oleh-oleh khas Bogor pemberian Tama.

Sang PerawanWhere stories live. Discover now