10. Sematan Gardenia

6K 1.2K 74
                                    

Alika sibuk membuang penatnya pikiran yang berisik mengenai perjodohan. Ia masih asyik memotong tangkai-tangkai bunga beraroma khas di tangannya. Meski teramat menyebalkan ketika ingat bunya bak melati ini adalah favorit Oma Ratri, Alika tetap suka menghidu aromanya.

Wangi dan menenangkan. Seperti aroma melati yang intens dan manis.

Sekuntum gardenia berhias dua daunnya yang mengilap terangkai, menjadi sebuah boutonnier cantik. Sementara korsase yang akan dipakai para gadis di pergelangan tangan pada acara pernikahan nanti terangkai dari beberapa kuntum gardenia.

Alika meregangkan dua tangan ke atas, sesekali memutar badan ke kiri dan kanan sampai tulang punggungnya bergemeretak. Satu embusan napas leganya terlontar seiring perempuan yang mengenakan dress dennim tanpa lengan itu bersandar ke kursi. Ia melirik ke arah jam beker di meja. Sepertinya seharian ini Alika melewatkan jam makan siang dan malamnya di kamar lantai dua toko bunga.

Hari ini Mirna dan Dadang rela hati membiarkan bosnya mengurung diri di kamar. Dua pegawainya itu paham, wajah masam Alika begitu sampai di toko adalah pertanda mau sendiri sejenak. Pun bukan hal aneh bagi Mirna melihat dan mendengar percekcokan Alika dan sang oma.

"Mbak, ada tamu! Aku mau pulang ini! Toko udah mau tutup!"

Suara teriakan Mirna mengalihkan minat pemilik kamar bergaya boheimian dari pantry. Ia baru saja akan beranjak membuat semangkuk mi lengkap dengan telur untuk mengganjal perutnya yang mulai meronta.

"Siapa, Mir? Mau pesan bunga buat besok orangnya?" Alika melongokkan kepala pada celah pintu yang ia buka sedikit.

Gadis di bawah tangga itu meringis seraya menggaruk kepalanya bingung. Tadi ia sudah bilang kalau Alika sedang tidak enak badan, tapi sang tamu memaksanya. "Mas Raga, Mbak. Gimana? Suruh pulang aja?"

"O-oh ...." Alika mengangguk, tapi menggeleng begitu Mirna hampir berbalik. "Jangan, jangan! Aku temuin dia aja!"

Mirna tersenyum sumir melihatnya. Namun, ia memilih mengangguk. "Siap, Mbak."

Alika sempat masuk ke kamarnya sebentar, merapikan rambut dan mengikatkan bandana dari kain berwarna biru tua. Ia baru saja akan turun ketika sosok itu tampak sedang melihat stok bunga di teras belakang.

Tepat ketika Alika sampai di anak tangga paling akhir, Raga menoleh padanya.

**

Rasanya, menyimpan kegelisahan sendiri itu menyesakkan. Raga sudah berusaha menahan diri untuk tak bersegera menemui Alika dan mempertanyakan perihal Tama. Namun, semakin ditahan, perasaan tak jelas semakin bermunculan.

Raga mulai menyesali kenapa dulu ia pergi tanpa pamit. Kesal pada keadaan yang memaksaanya pergi kala itu. Sampai membanding-bandingkan dirinya dengan Tama. Padahal tak ada untungnya membanding-bandingkan sosok dirinya dengan Tama.

Di sinilah ia sekarang, memilih membuang keresahan dengan menyambangi perempuan yang menjadi sumber keresahan seharian ini.

Dua mangkuk mi rebus instan bertoping telur dan irisan daun sawi sudah habis. Berganti dengan dua cangkir kopi menemani keduanya duduk di meja dekat etalase bunga paling depan. Mirna dan Dadang sudah pulang sejak satu jam lalu, tapi keduanya masih betah duduk di toko bunga Alika yang sudah tutup.

"Ini yang bakalan dipakai di acara kawinan Arya sama Karin nanti?" Raga menunjuk boutonnier dan korsase yang baru saja Alika ambil dari lantai dua di kamarnya.

"Iya, bagus? Apa terlalu sederhana? Gue bisa ganti model rangkaian lain nanti kalau."

"Boleh dicoba?"

"Boleh, deh."

Atas izin sang florist, Raga cepat-cepat meraih jas yang sempat ia lepas di sandaran kursi. Dua tangan Alika terulur, merapikan posisi jas hitam yang laki-laki itu kenakan sebelum ia menyematkan boutonnier di saku jas sebelah kiri.

Sang PerawanWhere stories live. Discover now