3. Tabebuya yang Bermekaran

10.9K 1.9K 118
                                    

Kaki berbalut jins hitam dan sneakers biru tua itu berjalan lambat. Keresek putih berisi dua kaleng minuman ringan dan sebungkus roti tawar beserta selai kacang kemasan kecil terayun di tangan kiri. Jalanan protokol di Kota Surabaya yang dilalui masih ramai meski malam sudah menjelang.

Cowok jangkung berambut hitam legam yang tertata berantakan dan sedikit panjang itu berbelok memasuki gapura sebuah jalan setapak kecil. Ia sempat terhenti sejenak, menatap mural di dinding, lalu berjalan kembali menapaki paving blok yang dicat beraneka warna. Aneka tanaman hijau dalam pot di depan pemukiman padat penduduk tampak menyejukkan dan rindang.

Tepat sebelum tiga rumah ia lalui, perempuan di depan pintu pagar itu muncul. Wanita yang mengenakan sweter kasmir abu-abu dengan rambut dicepol itu merangkul sebuah pot kecil. Bunga lagi. Kali ini tanaman bonsai berbunga merah muda dan putih.

Raga tersenyum simpul dan bergegas menghampiri. Tak apa meski sekarang hanya berdua. Setidaknya wanita itu masih memiliki semangat menjalani hidup dan hobinya meski tak seroyal dulu.

"Eh, Raga! Ngapain berdiri di situ?" Rosita—wanita yang baru menjanda sebulan—sedikit kaget menemukan putranya berdiri seraya bersandar di sisi pagar entah sejak kapan.

"Bunga apa lagi, Ma?" tanyanya. Cowok itu masuk ke teras, melepas sepatu, dan meletakkannya ke rak di sisi pintu.

"Tabebuya. Sama kayak yang di jalan protokol itu, Ga. Mama suka warnanya. Kayak musim semi di Jepang." Perempun bermata sendu itu membuka pintu, meraih keresek dari tangan putranya. "Beli roti sama selai buat sarapan besok pagi, kan?"

Raga mengangguk. Namun, ia masih enggan masuk rumah bertegel merah yang mereka huni selama di Kota Pahlawan ini. Rumah yang jauh dari kata mewah. Tak sebanding dengan rumah suami Rosita yang menawarkan kemegahan dan kenyamanan.

Cowok beralis tebal bergaris tegas itu menatap bunga tabebuya di teras. Kapan terakhir ia menumpahkan cerita tentang mamanya yang suka berkebun pada gadis itu?

"Kayaknya asyik punya rumah yang banyak bunganya, Ga."

Raga tersenyum mengingat sederet kalimat Alika sebelum ia benar-benar memilih menghindar sejenak.

Alika Prameswari. Gadis cantik beriris cokelat terang yang tenang dan mengagumkan. Belum pernah ia menginginkan pertemuan sehebat ini. Namun, sesuatu menahannya. Sesuatu yang tak bisa Raga abaikan keberadaannya.

"Demi kebaikannya. Pergilah."

Raga menghela napas berat. Nyatanya, yang mereka katakan baik, tak semudah dalam bayangan. Raga harus melalui malam-malam yang sangat menyiksa. Sebab mimpi itu datang berulang-ulang seperti kaset rusak. Alika yang terisak dalam penyesalan dan kecemasan berbalut selimut putih itu terus menghantui. Pergulatan meski hanya satu malam itu seolah menjadi candu yang melekat erat dalam benak.

Cowok itu mengusap wajah berdagu runcing miliknya. Ia meraih ponsel dalam saku jaket, menilik akun media sosial Alika barang sejenak. Tak ada aktivitas apa pun. Gadis itu memang tak gemar berswafoto.

Raga menutup media sosial, mengarahkan kamera pada bonsai bunga tabebuya di halaman.

"Tabebuya bermekaran, Al. Kalau gue ngajakin lo jalan cuma liat-liat bunga di pinggir jalan kota ini, apa lo suka?"  Raga mengusap layar ponsel dengan ibu jari. "Pasti suka," jawabnya menjawab pertanyaan sendiri lalu tersenyum hambar.

**

“Apa saja yang yang dibutuhkan untuk dekorasi?”

Standing flowers, hand bouquet, bunga papan, bunga meja, korsase.”

Sang PerawanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora