[3] Rutinitas Pagi

562 155 10
                                    

"Lalukan saja semuanya dengan hati yang ikhlas agar lelahnya tak begitu terasa dan semoga menjadi pahala."

—Grizella Rahdian Anggraeni—

Happy reading



Sejak lima bulan lalu rutinitas Griz setiap pagi selalu sama, bangun, salat subuh, memasak, mandi, membangunkan Arghi, lalu pergi ke sekolah. Dan pagi itu Griz yang baru saja selesai salat subuh terlihat menuruni tangga sambil menjepit rambut pendeknya dengan jedai kecil berwarna oren—warna favoritnya.

Dengan semangat pagi yang masih penuh sepasang kaki Griz berjalan menuju dapur. Dia mulai mengumpulkan segala bahan serta bumbu yang akan dipakai untuk memasak pagi itu. Tangan Griz terlihat telaten memotong bahan-bahan masakan di depannya, bahkan jika dilihat Griz sudah seperti seorang istri muda yang terbiasa bergelut dengan dapur berserta isinya.

Saat Griz sedang asyik memasak tiba-tiba dia mengingat sesuatu yang sangat sedih menurutnya.

"Ibu, Kakak pengen sup, tapi gak kayak biasanya. Supnya dibuat manis. Boleh?" pinta Griz pada Resti yang sedang duduk manis di ruang tengah sambil menonton televesi. Resti pun menoleh ke arah Griz.

"Boleh. Buat nanti makan siang aja, ya?"

"Iya."

"Kalau gitu, sekarang Kakak ikut Ibu ke warung buat belanja bahan-bahannya. Mau?"

Griz mengangguk semangat "Mau!"

Itu sangat sedih untuk Griz, karena itu adalah kali terakhirnya Resti memasak untuk keluarganya. Dan itu adalah masakkan terakhir Resti yang Griz makan, karena malamnya Ayah dan Ibunya mengalami kecelakaan kemudian harus di rawat di rumah sakit sampai akhirnya mereka meninggal dunia.

"Pagi, Kak!" sapa Arghi yang ternyata sudah bangun. Suara anak laki-laki itu pun menyadarkan Griz.

Seulas senyum manis Griz berikan kepada Arghi. "Pagi, ganteng," ucap Griz balik menyapa Arghi.

"Masak apa hari ini?" tanya Arghi sambil membuka kulkas untuk mengambil air minum.

"Ghi, masih pagi jangan minum yang dingin," tegur Griz yang melihat Arghi sudah mengambil tupperware berwarna oren dari kulkas.

Arghi justru menyengir dan tetap menuangkan air dingin ke gelas lalu meneguknya hingga tandas, membuat Griz hanya bisa menggeleng."Masak apa?" tanya Arghi mengulangi pertanyaannya tadi.

"Sup, perkedel kentang, sama—."

"Telur setengah mateng!" ucap Arghi cepat, menebak menu selanjutnya yang akan Griz sebutkan.

"Seratus!"

"Aku suka telur setengah mateng, tapi kalau setiap hari eneg. Kok Kakak engga, sih?" Anak sembilan tahun itu menatap Griz heran.

Griz mengangkat dua bahunya. "Gak tahu. Salah siapa telur setengah mateng enak banget," jawab gadis itu. Griz memang tak pernah bisa menjawab kenapa dia begitu menyukai telur setengah matang. Arghi sedikit bergidik membayangkan amisnya telur setengah matang kesukaan Kakaknya itu.

"Sana mandi, Ghi. Terus nanti gantian sama Kakak." Griz mengarahkan kepalanya ke arah kamar mandi, menyuruh Arghi untuk segera mandi. Patuh dengan apa yang Kakaknya katakan, Arghi langsung beranjak menuju kamar mandi.

•••

"Ayo, Ghi."

Griz yang baru saja dari dapur menghampiri Arghi yang masih duduk di meja makan, mengajak anak itu untuk keluar. Arghi bangkit dari duduknya, mendorong kursi yang dia tempati hingga setengah masuk meja. Griz mengambil paper bag berisi bekal yang berada di atas meja makan lalu merangkul bahu Arghi. Kakak-beradik itu berjalan bersama keluar rumah.

GRIZELLA (TERBIT)Where stories live. Discover now