[30] Jangan Kayak Gitu Lagi, Ya

157 70 1
                                    

"Kamu tidak akan bisa menenangkan badai, jadi berhentilah mencoba. Yang bisa kamu lakukan adalah menenangkan diri sendiri. Badai akan berlalu."

—Anonim—

•Happy Reading•



Pukul sembilan malam tadi Griz dan Arghi sudah sampai di rumah mereka. Dan saat itu, sekitar pukul sepuluh malam Griz terlihat sedang duduk sendirian di balkon kamarnya. Langit yang tampak terang, karena cahaya bintang dan bulan, serta semilir angin malam yang terasa dingin ketika menyentuh kulit tipis manusia menjadi teman Griz malam itu.

Keputusan untuk memaafkan mereka yang telah menaruh luka di hatinya nyatanya bukan keputusan yang buruk. Apa yang dikatakan Davina ada benarnya, hatinya yang semula sesak mulai sedikit memiliki ruang. Semoga saja Griz bisa sepenuhnya memaafkan mereka.

Saat gadis yang menjedai rambutnya dengan jedai berwarna oren itu betah memandangi langit malam terdengar suara pintu kamarnya yang terbuka.

Ceklek!

Kepala Griz menoleh ke belakang. Sudah pasti itu adalah Arghi. Tak mau Arghi terkena angin malam yang dingin, Griz lebih dulu kembali masuk ke kamar dan menutup pintu balkon.

"Kok belum tidur?" tanya Griz menatap Arghi yang sudah duduk di atas kasurnya.

"Belum ngantuk."

Griz mendekat, ikut duduk di atas kasurnya. Tangan Griz mengusap kepala Arghi penuh kasih sayang. "Ayo, tidur. Ini udah malem. Besok, kan, masih harus sekolah," suruh Griz lembut.

Arghi yang tadinya duduk mengubah posisinya menjadi tidur di pangkuan Griz. Bibir Griz tertarik ke atas menatap Arghi yang sudah ada di pangkuannya. Tangannya kembali mengusap-usap kepala adiknya itu penuh kasih sayang.

"Kak?" panggil Arghi.

"Iya, ada apa?"

"Aku kangen sama Ayah-Ibu," jujur Arghi.

Griz menatap Arghi sedih, dia bisa merasakan apa yang sedang anak itu rasakan. Mau seceria dan sekuat apa, rasa rindu akan selalu hadir tanpa bisa mereka cegah dan itu pasti akan terasa sangat menyakitkan mengingat rindu mereka hanya bisa disampaikan melalui doa tanpa bisa berjumpa.

"Kira-kira kalau Ayah sama Ibu masih ada, sekarang kita lagi apa, ya?" tanya anak berusia sepuluh tahun itu. Griz langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Matanya tiba-tiba terasa perih. Dan terlihat cairan bening menggantung di mata Griz, namun sebelum cairan bening itu menetes, tangan Griz sudah lebih dulu menghapusnya. Gadis itu kembali menatap Arghi yang masih betah tidur di pangkuannya.

"Eum, pasti sekarang kita lagi di ruang tengah sambil nonton televisi terus kita berantem, karena rebutan remot. Dan Ibu pasti bilang."

"Kak, kasih remotnya ke adek," ucap Griz meniru ucapan Resti, ketika mereka berebut remot televisi.

"Terus nanti Ayah, bilang gini, kalau gak ada yang mau ngalah, kita jalan-jalan berdua aja, yuk, Bu," timpal Arghi meniru ucapan Yosal.

"Terus nanti akhirnya kita sama-sama ngalah, karena gak mau ditinggal jalan-jalan," kata Griz.

"Iya, bener," kata Arghi.

Mereka terkekeh mengingat momen hangat itu. Namun, siapa yang tahu dibalik senyum dua anak malang itu ada sedih yang coba mereka sembunyikan. Mereka berusaha mengubur dan mengobati rindu dengan senyum di wajahnya.

"Kalau kangen, Arghi kirim doa buat Ayah-Ibu aja. Nanti pasti kangennya berkurang," kata Griz.

Kepala Arghi mengangguk. "Iya, tadi habis salat isa aku udah kirim doa buat Ayah-Ibu."

GRIZELLA (TERBIT)Where stories live. Discover now