[6] Pecahan Kaca

523 156 12
                                    

"Setiap manusia memiliki sisi monster yang menakutkan dalam dirinya. Dan terkadang sisi menakutkan itu akan muncul di saat dia sedang dalam perasaan yang membuat dirinya sendiri merasa tak berguna."

—Grizella Rahdian Anggraeni—

•Happy reading•



Pukul lima sore Griz baru sampai di rumah. Sesuai janjinya, gadis itu pulang membawa martabak cokelat untuk Arghi. Tangan Griz bergerak membuka pintu rumah. Bibir merah muda gadis itu berucap menyapa adiknya yang dia tinggal sendirian di rumah.

"Assalamu'alaikum. Kakak pulang!"

Griz berjalan ke arah dapur. Ditaruh martabak yang dia beli tadi di atas meja makan. Kepala Griz menoleh ke arah tangga menanti Arghi turun. Namun, adiknya belum juga terlihat. "Arghi!" panggil Griz sedikit meninggikan volume suaranya agar Arghi mendengar, karena Griz pikir Arghi sedang berada di kamar sehingga tidak mendengar suaranya.

Beberapa detik Griz menunggu, tetapi Arghi masih tak datang. Dia memutuskan untuk naik ke kamar Arghi. Ketika sudah di depan pintu kamar Arghi, dia bisa melihat dari cela pintu kalau ternyata adiknya sedang tidur di atas kasur. Griz mendorong pelan pintu kamar Arghi kemudian masuk. Gadis itu duduk di tepi kasur, tangan kanannya terulur mengusap rambut Arghi. "Ghi, bangun," ucap Griz membangunkan Arghi dengan lembut, tak ingin membuat adiknya terkejut.

Arghi menggeliat, kedua kelopak matanya yang tadi terpejam perlahan terbuka. "Eum. Ngantuk," rengek anak itu. Sepertinya Arghi belum lama tidur.

"Iya, tapi ini mau magrib. Tidurnya nanti lagi."

Arghi mengumpulkan nyawanya, lalu mengubah posisinya menjadi duduk. Tangan Griz menyisir rambut Arghi yang sedikit berantakan ke belakang. "Maaf ya, lama. Tadi nyari abang martabaknya susah, yang biasanya masih tutup," jelas Griz tahu kalau dia sudah membuat adiknya menunggu.

"Gak pa-pa. Martabaknya mana?"

"Di meja makan."

Arghi turun dari kasur kemudian berlari keluar dari kamarnya menuju dapur. Griz yang melihat tingkah adiknya dibuat tersenyum.

•••

"Griz, ke mana aja?"

"Ehm, engga ke mana-mana."

"Sekarang di mana?"

"Di rumah."

"Aku ke rumah, ya."

"Oke. Hati-hati," pesan Griz.

Tut ... tut ...

Setelah teleponnya dengan Kanezka terputus, Griz yang berada di meja makan bersama Arghi terlihat bangun dari duduknya. Arghi yang sedang menikmati martabak kesukaannya menatap Griz penasaran. "Mau ke mana?" tanya Arghi di sela mulutnya mengunyah martabak.

"Mau mandi," jawab Griz. "Nanti kalau Kak Kanezka dateng minta tolong bukain gerbang, ya."

"Iya," jawab Arghi. Griz mengacungkan jempol kemudian berlari naik ke kamar.

Sudah sepuluh menit Arghi masih duduk di meja makan menunggu Kanezka dan menunggu Griz selesai mandi, tetapi kedua orang itu tak juga kunjung muncul. Arghi bangkit dari kursi menuju kulkas yang tak jauh dari meja makan. Baru tangan Arghi membuka pintu kulkas, suara bel rumah terdengar jelas di telinganya. Arghi segera memasukkan martabaknya ke dalam kulkas lalu menutup kulkas itu lagi. Kemudian dia segera berlari untuk membuka gerbang.

GRIZELLA (TERBIT)Where stories live. Discover now